Pages

Sabtu, 07 Januari 2012

FILSAFAT PENDIDIKAN


FILSAFAT PENDIDIKAN
Pendahuluan
Krisis Kehidupan

Krisis filosofi hidup mengakibatkan krisis kehidupan di segala bidang. Di era pasca-industrialisasi ini, manusia mengalami kemajuan pesat di bidang intelektual. Tetapi, pada saat yang sama, manusia mengalami krisis kehidupan secara spiritual dan moral. Fakta menunjukkan bahwa pelaku-pelaku tindak kejahatan di segala bidang adalah justru orang-orang yang terdidik/kaum intelektual. Semua ini adalah akibat dari krisis filosofi hidup. Krisis filosofi hidup itu berakar dari krisis pendidikan, yaitu pendidikan di keluarga, di sekolah dan di masyarakat.
Beberapa pokok bahasan berikut ini dapat memberikan gambaran tentang tingkat krisis kehidupan yang terjadi dan pengaruh pendidikan terhadap kehidupan manusia.

A. Kebangkrutan Ekonomi
Kepadatan penduduk dunia dan asumsi ketidaksesuaian ketersediaan pangan, mendorong timbulnya filsafat hidup positivisme-materialistik. Filsafat hidup ini menyebabkan manusia berusaha memperoleh kekayaan material sebanyak-banyaknya dengan segala cara. Tampaknya manusia cenderung memilih perdagangan sebagai cara utama yang digunakan. Maka timbullah ekonomi perdagangan dengan persaingan yang ketat, baik secara individual maupun sosial. Moralitas persaingan ini menyebabkan timbulnya ekonomi kapitalistik. Selanjutnya, ekonomi kapitalistik menyebabkan timbulnya monopoli perdagangan, mulai dari proses produksi sampai mekanisme pasar. Monopoli perdagangan ini menyebabkan masyarakat terpecah menjadi dua kelompok, yaitu masyarakat produsen dan masyarakat konsumen.
Tanpa disadari, secara nyata telah terjadi sebuah kompromi nilai antara podusen dan konsumen, yaitu nilai 'kenikmatan' hidup dari barang-barang produksi. Dengan komproni ini, produsen dapat menguasai pasar dan menikmati keuntungan yang besar melalui barang-barang produksi yang diberikan kepada konsumen. Semakin besar kenikmatan yang diberikan melalui barang-barang produksi, semakin besar kebergantungan konsumen pada produsen. Maka kaum kapitalis semakin leluasa menguasai konsumen dan ekonomi perdagangan.
Di balik kompromi nilai kenikmatan ini, sesungguhnya produsen sedang diproses menuju sikap dan perilaku serakah, yang secara alamiah bersifat merusak dan menghancurkan. Sementara itu, konsumen diproses menuju sikap dan perilaku bergantung pada produsen, pasif, malas dan tidak kreatif. Moralitas negatif ini, pada saatnya akan menciptakan kondisi di mana produsen memangsa konsumen, dan produsen memangsa sesama produsen. Pada saat seperti inilah kebangkrutan ekonomi terjadi dan akan merusak tatanan kehidupan manusia.

B. Kemunafikan Politik
Euforia politik demokratis telah menjadi sesuatu yang fenomenal di abad ke-21 ini. Tetapi euforia politik itu hanya sebuah permainan, yaitu permainan uang. Ini yang menjadi ciri khas abad ekonomi kapitalistik.
Semangat ekonomi kapitalistik ini telah merasuki moralitas para pejabat negara dan membentuk filosofi hidup yang merusak. Filosofi hidup para pejabat negara adalah memperoleh kekuasaan untuk mendapatkan kekayaan materi sebanyak-banyaknya dari negara. Jadi, orientasi kekuasaan yang diperjuangkan itu adalah keleluasaan untuk mendapatkan kenikmatan ekonomi material. Di sini telah terjadi pergeseran nilai substansial dari politik, yaitu kecerdasan dalam mengambil kebijakan bergeser menjadi kebijakan mengandung kelicikan.
Dengan dalih demokrasi, para politisi membuat kebijakan-kebijakan dasar yang sebenarnya dimaksudkan untuk membuka kesempatan besar bagi dirinya supaya dapat meraih keuntungan yang besar dari negara. Jadi, kekuasan negara itu dimanipulasi menjadi alat eksploitasi habis-habisan untuk mendapatkan kenikmatan hidup.

C. Ketidakadilan Hukum
Sikap tidak adil dan otoriter dari pihak penguasa memicu perlawanan pihak lemah yang diwujudkan dalam bentuk teror. Terorisme adalah bentuk protes terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang diperoleh dari proses demokrasi. Kaum kapitalis, yang saat ini sedang yang berkuasa, telah menjadikan negara-negara sedang bekembang sebagai objek kekuasaan otoriternya. Kepada negara-negara yang tidak berdaya ini, hukum diterapkan atau dilaksanakan secara tidak adil. Perlakuan tidak adil ini menyuburkan tumbuhnya terorisme.
Ketidakadilan itu dipicu oleh sifat serakah. Sifat serakah adalah moralitas konsumeristik yang diakibatkan oleh kekuasaan ekonomi kapitalistik. Moralitas konsumeristik ini mengarahkan manusia kepada filosofi hidup hedonistik (kenikmatan hidup sementara). Filosofi hidup hedonistik ini secara nyata telah mengakibatkan legitimasi kesalahan, pembenaran perilaku korup dan suap, penghalalan segala cara.
Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, penegakan hukum secara adil sulit diwujudkan, karena para pejabat negara dan penegak hukum justru terlibat dalam tindak kejahatan di segala bidang. Di Indonesia, hukum itu cenderung membiarkan kejahatan, tetapi mengawasi dan mengontrol kebaikan dan kejujuran. Karena itu, orang yang bermoral baik, jujur dan adil akan tersingkir, tetapi orang yang jahat justru diangkat jadi pejabat dengan posisi yang baik.

D. Kehancuran Pendidikan dan Kebudayaan
Perkembangan teknologi dan industri yang begitu pesat adalah hasil dari pendidikan. Pendek kata, sekarang ini pendidikan telah mencapai titik puncak kemajuan. Tetapi di tengah kemajuan ini, moral keserakahan ekonomi, moral kekuasaan otoriter politik, dan moral ketidakadilan hukum justru merajalela. Keadaan kontradiktif ini terutama disebabkan oleh karena pendidikan dilepaskan dari pemberdayaan teknologi dan industri.
Ketika pemberdayaan teknologi dan industri tidak disertai dengan pendidikan, maka akan menciptakan ruang yang bebas bagi perkembangan moral keserakahan. Moral keserakahan ini secara alami dan secara langsung akan memberi ruang bagi perluasan ekonomi kapitalistik, kekuasaan politik otoriter, dan ketidakadilan hukum. Dengan kata lain, ketika pendidikan itu dilepaskan dari pemberdayaan teknologi dan industri, maka pendidikan akan terseret mengikuti kecenderungan pemanfaatan teknologi secara parktis dan pragmatis. Pemanfaatan teknologi secara parktis dan pragmatis adalah perilaku dominan dari kapitalisme hedonistik.
Ketika moralitas kapitalisme hedonistik merasuki dunia pendidikan, maka orientasi pendidikan akan bergeser ke arah kenikmatan ekonomi material. Pergeseran orientasi ini menyebabkan penyelenggaraan pendidikan menjadi bersifat komersial. Orientasi komersial ini telah merasuk ke dunia pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Akibatnya, dunia pendidikan tidak lagi mampu melakukan pembaruan kehidupan masyarakat dan menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif. Hal ini terbukti dengan adanya banyak pengangguran intelektual.
Banyaknya tingkat pengangguran intelektual akan menyuburkan tumbuhnya sikap dan perilaku bergantung, dan juga menumbuhkan moral konsumtif-konsumeristik. Sikap moral dan perilaku semacam ini sangat kontradiktif dengan substansi kebudayaan dan kontradiktif dengan visi dan misi pendidikan untuk melakukan pembaruan dan pembudayaan kehidupan.


E. Filsafat Hidup: Hedonisme Materialistik
Kemajuan teknologi tidak hanya berdampak pada pergeseran kehidupan dari sistem agraris ke sistem industri, tetapi juga pergeseran filsafat hidup dari spiritual ke positivisme-materilistik. Pergeseran filsafat hidup ini telah menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa ketersediaan sumber daya alam tidak seimbang dengan kepadatan penduduk dunia. Anggapan ini menyebabkan manusia dipacu hidup kreatif, dinamis, dan kompetitif. Dengan demikian, manusia yang pasif terancam tidak mendapat bagian dan terancam kelaparan. Di sini, materi menjadi segala-galanya bagi manusia.
Materi menjadi orientasi hidup manusia. Tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kenikmatan material di dalam dunia ini, bukan untuk mencapai kehidupan rohani di dunia akhirat atau surga. Karena itu, setiap orang berlomba-lomba mendapatkan materi sebanyak-banyaknya dan berusaha meraih kemewahan hidup material. Materi kini menjadi ukuran bagi harkat dan martabat manusia.
Dari urian di atas, kita dapat menilai bahwa pendidikan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat mempunyai andil yang besar terhadap krisis kehidupan di segala bidang. Harus diakui bahwa pendidikan telah menghasilkan perubahan, tetapi perubahan itu juga menyebabkan kerugian dan krisis kehidupan di segala bidang. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan telah mendorong manusia ke arah filosofi hidup hedonisme-materialistik. Padahal, seharusnya pendidikan itu memberikan pencerahan kepada manusia sehingga mempunyai kehidupan yang cerdas secara spiritual, cerdas secara intelektual, dan cerdas secara emosional.












BAB I
Isi dan Arti Filsafat

A. Pendekatan Etimologis
Filsafat berasal dari kata Yunani phillein yang berarti cinta dan sophia yang berarti hikmat atau kebijaksanaan. Jadi, filsafat itu berarti cinta hikmat atau kebijaksanaan. Cinta itu menggambarkan tindakan yang melibatkan subjek dan objek. Subjek punya kecenderungan untuk menyatu dengan objek. Penyatuan subjek dan objek sangat ditentukan oleh pengetahuan subjek tentang sifat atau hakikat objek. Sedangkan hikmat atau kebijaksanaan itu menggambarkan pengetahuan hakiki tentang bijaksana. Jadi, kebijaksanaan adalah hakikat dari perbuatan bijaksana. Perbuatan bijaksana itu bersifat benar, baik, dan adil.
Berdasarkan pendekatan etimologis ini, dapat diartikan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang pengetahuan.

B. Perkembangan Beberapa Aliran
Pembahasan aliran filsafat di sini bersifat selektif. Tujuannya adalah untuk menarik benang merah dari setiap perkembangan pemikiran filosofis dari zaman ke zaman, yang relevan dengan konteks pembahasan pendidikan.
1. Materialisme: Herakleitos dan Parmenides
Filsafat Herakleitos (535-475 SM) dikenal dengan filsafat menjadi (to become). Dia berpendapat bahwa segala sesuatu itu terus mengalami perubahan. Tidak ada sesuatu pun yang tetap, definitif, dan sempurna. Segala sesuatu sedang bergerak menjadi dan sedang mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi dalam realitas konkret, dalam ruang dan waktu tertentu.
Pandangan ini menunjukkan bahwa Herakleitos tidak mengakui adanya pengetahuan umum yang tetap, karena segala sesuatu terus berubah menjadi. Dia tidak mengakui kemampuan akal menangkap pengetahuan yang benar, tetapi mengakui kemampuan indra, karena perubahan segala sesuatu terjadi dalam realitas konkret.
Pandangan yang bertentangan dikemukakan oleh Parmenides (540-575) yang dikenal sebagai 'bapak filsafat ada' (philosophy of to be) dan peletak dasar metafisika. Dia berpendapat bahwa realitas yang sesungguhnya itu bukan yang berubah dan bergerak menjadi bermacam-macam pengada, tetapi realitas itu adalah yang 'ada' dan bersifat tetap. Jadi, dalam realitas ini penuh dengan 'ada'. 'Ada' itu hanya satu, sempurna, dan tidak terbagi-bagi. Jadi kebenaran itu adalah bahwa 'yang ada' itu ada, dan 'yang tidak ada' itu tidak ada.
Dalam pertentangan antara pengetahuan indera dan pengetahuan akal budi, Parmenides menolak kebenaran indera, seperti yang diakui Herakleitos. Menurut Parmenides, pengetahuan yang benar adalah pengetahuan akal, karena bersifat umum, tetap, dan tidak berubah.
2. Idealisme: Socrates dan Plato
Socrates (469-399) berpendapat bahwa dunia yang sesungguhnya, yang utuh dalam kesatuan yang tetap, dan yang tidak berubah adalah 'dunia ide'. Semua yang ada di dunia yang kelihatan ini adalah semu, karena penuh dengan perubahan. Dunia ini adalah bayang-bayang dari ide. Jadi, tidak bisa disebut sebagai kebenaran. Kebenaran yang absolut hanya ada di dalam ide. Ajaran Socrates ini dikembangkan secara matang oleh Plato. Pandangan Socrates dan Plato ini dikenal sebagai paham 'idealisme'.
3. Realisme: Aristoteles (384-342 SM)
Pandangan Aristoteles bertentangan dengan Plato, gurunya. Dia berpendapat bahwa dunia yang sesungguhnya adalah dunia real, yang konkret, yang bermacam-macam, yang bersifat relatif, dan yang berubah-ubah. Sedangkan duni 'ide' itu adalah dunia yang abstrak, tidak real, dan terlepas dari pengalaman. Padangan Aristoteles ini dikenal sebagai paham 'realisme'.
Aristoteles juga dikenal sebagai 'bapak metafisika'. Pemikiran Aristoteles tidak berhenti pada hal yang konkret, tetapi juga mencakup pemikiran tentang sesuatu yang ada di balik (melampaui) sesuatu yang konkret dan yang selalu berubah-ubah. Beberapa teorinya yang terkenal adalah 10 (sepuluh) kategori, teori aktus dan potensia, dan teori 'hule-morfisme'.
4. Rasionalisme: Rene Descartes (1596-1650)
Descartes berpendapat bahwa rasio adalah realitas yang sesungguhnya. Rasio adalah sumber dari pengetahuan yang benar. Kebenaran yang tetap dan objektif hanya ada di dalam dunia rasio. Pengamatan indra kita itu tidak memberikan pengetahuan yang pasti, tetapi bisa menipu kita. Karena itu tidak dapat disebut sebagai kebenaran. Inti pengajaran Descartes diungkapkan dengan perkataan "cogito ergo sum". Ungkapan ini diterjemahkan: saya berpikir, maka saya ada. Pengetahuan 'saya ada' ini disebut kebenaran.
5. Empirisme: John Locke (1632-1704)
Pandangan John Locke bertentangan dengan Descartes. Menurut Locke, pengalaman dalam dunia yang konkret adalah sumber dari pengetahuan yang benar. Kebenaran yang objektif hanya dapat diperoleh melalui pengalaman indera dalam situasi dan kondisi tertentu. Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman indera ini bersifat objektif, konkret, dan berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Pengetahuan semacam ini tidak dapat dijangaku oleh rasio. Rasio hanya dapat mengetahui secara abstrak, umum, dan tidak berubah atau bersifat tetap.
6. Kritisisme: Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant berpendapat bahwa substansi dari sesuatu yang nampak, tidak dapat disentuh baik oleh kemampuan rasio maupun pengalaman. Sesuatu yang nampak yang dapat dialami dan dipikirkan itu hanyalah gejala, bukan substansinya.
Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan sintetik apriori, sintetik aposteriori, analitik apriori, dan analitik aposteriori, Kant membuktikan bahwa kemampuan rasio dan pengalaman itu tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki kekuatan dan kelemahan. Rasio memiliki kemampuan menangkap kebenaran pengetahuan secra umum, tetapi lemah dan kabur terhadap pengetahuan konkret yang khusus. Sedangkan, pengalaman memiliki kekuatan mengenali setiap hal yang khusus, tetapi kabur terhadap prinsip-prinsip umum.
C. Pendekatan Objektif
Objek materi dari filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Yang ada itu terdiri dari ada manusia, ada alam, dan ada causa prima (Sang Pencipta). Sedangkan, objek formanya adalah seluruh segi dari segala sesuatu yang ada, mulai dari yang abstrak sampai yang konkret. Seluruh realitas secara menyeluruh menjadi objek penyelidikan dari filsafat.
Realitas itu dibagi menjadi dua jenis, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Realitas kuantitatif terdiri dari realitas manusia, realitas alam, dan realitas causa prima. Realitas kualitatif terdiri tiga sisi, yaitu sisi abstrak, sisi konkret, dan sisi potensi. Sisi abstrak bersifat umum-universal. Sisi konkret bersifat khusus-individual. Sisi potensi bersifat aktual dan bersifat tampak seolah-olah aktual. Jadi sisi potensi ini berada di antara abstrak dan konkret.
D. Definisi Akumulatif
Kebenaran pengetahuan yang absolut diperoleh melalui kegiatan berpikir filosofis yang bersifat akumulatif. Artinya, kegiatan berpikir filosofis itu dilakukan secara sistematis dan cermat dari satu tahap ke tahap berikutnya. Kegiatan perpikir dari tahap ke tahap dilakukan dengan metode abstraksi. Kegiatan berpikir itu adalah mengabstraksikan pluralitas yang konkret dengan melepaskan atribut-atribut yang menjadi pembeda pada objek, sehingga akhirnya diperoleh satu hal, yaitu substansi objek.
Dari paparan tentang isi dan arti filsafat di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa filsafat itu secara metodologis memikirkan objek materinya berdasarkan seluruh segi yang ada. Demikian juga tentang pendidikan yang berkaitan dengan manusia, pendidikan itu akan dipikirkan secara metodologis berdasarkan seluruh segi dari hakikat keberadaan manusia.


BAB II
Hakikat Manusia dan Persoalan Pendidikan

A.
Hakikat Manusia
Pendidikan itu mengupayakan agar pengetahuan mempunyai hubungan yang kausalistik-fungsional dengan perilaku sehari-hari. Dengan demikian manusia dapat menjalani hidup sesuai dengan hakikatnya.
1. Manusia Makhluk Berpengetahuan
Pada hakikatnya, manusia itu mempunyai potensi cipta (nilai kebenaran), rasa (nilai keindahan), dan karsa (nilai kebaikan). Ketiga potensi ini menyebabkan manusia memiliki dorongan ingin tahu dan dapat memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang terkandung di dalam segala sesuatu yang ada. Ketiga jenis pengetahuan yang diperoleh manusia itu membentuk sebuah sistem yang menjadi dasar untuk membangun filsafat hidup, menentukan pedoman hidup, dan mengatur sikap dan perilaku hidup yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan hidup.
Filsafat hidup adalah pengetahuan manusia yang universal tentang asal mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan. Pedoman hidup adalah pengetahuan umum yang dijadikan sebagai prinsip yang dianggap benar, karena sesuai dengan hakikat asal mula dan mengarahkan pada pencapaian tujuan hidup. Sedangkan, sikap dan perilaku hidup adalah pengetahuan yang khusus dan konkret yang diwujudkan dalam tindakan hidup yang dituntun oleh pedoman hidup.
2. Manusia Makhluk Berpendidikan
Setiap manusia sudah menjalani pendidikan sejak dia lahir, yaitu pendidikan oleh orangtua, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan itu berlangsung terus hingga mencapai kedewasaan dan kematangan. Pendidikan itu diselenggarakan mulai dengan cara yang konvensional sampai dengan cara yang formal, metodik, dan sistematis institusional.
Ketika seorang manusia telah mencapai pendidikan pada tahap kedewasaan, di terus menjalani proses pendidikan untuk mencapai tahap pematangan diri. Pematangan diri adalah pendidikan lanjutan agar manusia berperilaku arif dan adil, dapat menolong diri sendiri, menolong orang lain, dan menjadi bagian yang integral dari eksistensi kehidupa di sekitarnya.
3. Manusia Makhluk Berkebudayaan
Melalui pendidikan, manusia dapat memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran yang membentuk sikap dan perilaku yang arif dan adil. Kemudian dengan sikap dan perilaku arif dan adil ini, manusia membangun kebudayaan dan peradabannya yang seimbang, baik secara material maupun spiritual, dan secara horizontal maupun vertikal.
Dengan sikap dan perilaku yang terdidik, manusia secara hakiki membangun hubungan yang berkeadilan baik dengan diri sendiri, sesama, maupun dengan lingkungannya. Membangun hubungan yang berkeadilan dengan diri sendiri diwujudkan dengan memenuhi kewajiban kodrati dirinya sebagai manusia. Membangun hubungan yang berkeadilan dengan sesama diwujudkan dengan memenuhi kewajiban kodratinya untuk memberikan apa yang menjadi hak bagi sesamanya. Membangun hubungan yang berkeadilan dengan alam/lingkungan diwujudkan dengan memenuhi kewajiban kodratinya untuk memelihara dan melestarikan alam dan sumber dayanya.
B. Filosofi Kehidupan
Secara filosofis persoalan hidup manusia yang kompleks itu dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, masalah asal mula sebagai titik awal yang ditandai dengan peristiwa kelahiran. Kedua, masalah tujuan sebagai titik akhir yang ditandai dengan peristiwa kematian. Ketiga, masalah eksistensi sebagai garis perjalanan hidup yang menghubungkan titik awal dan titik akhir. Jika manusia meyakini bahwa hidup ini asal mulanya dari Tuhan, maka harus meyakini juga bahwa tujuan hidup ini adalah untuk kembali kepada Tuhan. Karena itu, seluruh sikap dan perilaku di sepanjang garis perjalanan hidup harus bernilai ketuhanan.
Dalam sudut pandang filosofis, titik awal (asal mula) dan titik akhir (tujuan) itu identik dan berada di dunia metafisik. Karena itu, hanya satu adanya. Adanya itu bersifat universal, absolut, dan tidak mengalami perubahan. Sedangkan garis perjalanan hidup (eksistensi) itu berada di dunia fisik. Adanya garis perjalanan hidup (eksistensi) itu bersifat plural, serba berhingga (berbatas), khusus, dan berubah-ubah. Karena itu relatif adanya.
Dunia metafisik dan dunia fisik seirngkali dianggap saling bertentangan. Sebenarnya, dunia fisik itu merupakan perwujudan atau perluasan dari dunia metafisik. Jadi, dunia metafisik dan dunia fisik itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh yang tidak dapat dipisahkan. Secara fenomenologis, dunia fisik ini merupakan gejala atau penampakan dari dunia metafisik.
Dunia fisik inilah yang menjadi sumber segala macam persoalan hidup manusia. Akumulasi persoalan hidup itu dapat secara tajam memisahkan titik awal (asal mula) dan titik akhir (tujuan). Akibatnya, kehidupan ini hanya berhingga (berbatas) sampai pada titik fisik sekular. Selanjutnya, kehidupan ini menjadi serba fisik material dan secara pasti akan menyuburkan tumbuhnya moral keserakahan, yang secara perlahan, namun pasti, akan merusak tatanan dan ketertiban dunia kehidupan manusia.
C. Hakikat Asal Mula dan Tujuan Pendidikan
Pikiran manusia yang terbatas tidak mungkin dapat mengetahui secara pasti substansi/hakikat titik awal dan titik akhir. Ketikdakmampuan mengetahui secara pasti titik awal dan titik akhir itu sebaliknya justru menyatakan adanya sesuatu yang pasti, yang bersifat mutlak, dan tak terbatas. Pikiran manusia tidak akan pernah mampu menjelaskan secara rinci tentang substansi titik awal (asal mula) dan titik akhir (tujuan) yang bersifat tak terbatas itu.
Jika diyakini bahwa titik awal itu adalah causa prima atau Tuhan, maka yang pasti dapat dipikirkan dan disimpulkan secara logis oleh manusia adalah bahwa hakikat titik awal (asal mula) itu hanya satu, bersifat universal, absolut, dan tidak mengalami perubahan. Titik awal (asal mula) itu berada di dunia metafisik dan menjadi sumber dari segala sesuatu yang ada.
Jika diyakini bahwa titik awal adalah causa prima atau Tuhan dan titik akhir (tujuan) hidup adalah "surga" (Tuhan juga), maka yang pasti dapat dipikirkan dan disimpulkan secara logis oleh manusia adalah bahwa hakikat titik akhir (tujuan) hidup itu hanya satu, bersifat universal, absolut, dan tidak mengalami perubahan. Titik akhir (tujuan) itu berada di dunia metafisik dan menjadi tujuan akhir dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.
D. Problematika Pendidikan dalam Kehidupan
Di tengah pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi secara kuantitatif, pendidikan justru mengalami kemerosotan secara kualitatif. Berikut ini akan dipaparkan penyebabnya.
Sejak dimulainya era perindustrian, perilaku hidup manusia didominasi oleh kecerdasan intelektual. Sementara itu, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional diabaikan, sehingga potensinya menjadi semakin lemah. Kecerdasan intelektual lebih dominan karena potensinya yang bersifat kreatif dan dapat segera menjawab segala macam kebutuhan sehari-hari. Sedangkan, potensi kecerdasan spritual dan kecerdasan emosional lebih bersifat teoretis dan normatif dan jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dominasi kecerdasan intelektual ini menyebabkan hidup manusia penuh dengan persaingan dan hidup manusia dipolakan secara dikotomis menjadi pihak pemenang dan pihak yang kalah. Keadaan masyarakat yang demikian ini menjadi tempat yang subur bagi berkembangnya sifat egoistik, oportunistik, manipulatif, koruptif, dsb., demi meraih kemenangan.
Selain itu, era perindustrian juga menyebabkan sifat manusia menjadi pesimistik. Pesimisme ini, pertama, berbentuk rasa takut tidak mendapatkan bagian dan takut kelaparan. Kedua, pesimisme itu berbentuk dorongan berlebihan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa peduli orang lain. Kedua sisi pesimisme ini mengembangkan bentuk kehidupan eksploratif-oportunistik.
Bentuk kehidupan inilah yang menjadi permulaan terjadinya krisis kehidupan. Sikap dan perilaku semula dari kehidupan eksploratif-oportunistik adalah berusaha melipatgandakan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara efektif dan efisien. Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, tidak lagi berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang bersifat terbatas melainkan berusaha memenuhi keinginan yang tidak ada batasnya.
Revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Prancis juga membawa dampak terhadap merosotnya kualitas pendidikan. Kedua revolusi itu menghasilkan sistem kekuasaan politik pemerintahan kolonial dan sistem perekonomian kapitalistik. Kedua sistem ini menjadi sarana yang luar biasa bagi berkembangnya sifat serakah, baik secara individu maupun sosial. Sekarang moralitas serakah ini sedang menghancurkan integritas diri secara individu dan sosial dari komunitas perkotaan sampai komunitas pedesaan. Moralitas serakah ini mewujud dalam bentuk eksplorasi, eksploitasi, monopoli, korupsi, manipulasi, pungli, dsb..
Realitas di atas menunjukkan bahwa ada yang stagnan dan terabaikan di dalam dunia pendidikan, yaitu pendidikan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional.
E. Problematika Pendidikan
Persoalan pendidikan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi dan perindustrian dapat dirumuskan dengan pertanyaan berikut ini.
1. Apakah pendidikan untuk teknologi dan perindustrian?
2. Apakah teknologi dan perindustrian untuk pendidikan?
Jika pendidikan untuk teknologi dan perindustrian, itu adalah hal yang wajar. Memang pada akhirnya seluruh kegiatan pendidikan adalah untuk menciptakan teknologi dan perindustrian. Tetapi, ketika pendidikan itu semata-mata hanya untuk teknologi dan perindustrian, maka sebenarnya pendidikan itu sedang merusak nilai hakiki pendidikan itu sendiri. Nilai kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional menjadi terabaikan dan dianggap tidak memiliki relevansi dengan pelipatgandaan produksi. Di sinilah problem pendidikan muncul.
Jika teknologi dan perindustrian untuk pendidikan, itu pun juga wajar. Teknologi dan perindustrian dapat menjadi sarana untuk perkembangan kehidupan sosial dan pertumbuhan masyarakat yang terdidik. Tetapi yang menjadi persoalan adalah bahwa teknologi dan perindustrian itu dapat menciptakan sesuatu sesuai dengan keinginan manusia. Di sini akan terjadi perubahan orientasi. Teknologi dan perindustrian tidak lagi berorientasi kepada kebutuhan yang sifatnya terbatas, tetapi berorientasi pada keinginan yang tidak terbatas. Akibatnya, nilai kualitatif pendidikan bergeser ke nilai kuantitatif. Pergeseran nilai ini dapat mengubah pendidikan yang semula berorientasi pada proses menjadi berorientasi pada hasil. Pergeseran nilai kualitatif ke kuantitatif ini juga menjerumuskan pendidikan ke dalam komersialisasi pendidikan.















BAB III
Arti Pendidikan: Pendekatan Eksistensial
Keberadaan pendidikan dibedakan menjadi tiga kategori: keberadaan pendidikan dalam arti luas, dalam arti sempit, dan dalam arti alternatif.
A. Arti Luas Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan pembelajaran yang berlangsung di sepanjang masa dalam segala situasi kehidupan. Pendidikan itu dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan segala pontensi yang ada di dalam diri individu. Melalui kegiatan pendidikan itu, setiap individu mengalami proses perubahan sistematis menjadi semakin dewasa, cerdas, dan matang. Menjadi dewasa dalam hal perkembangan fisik, menjadi cerdas dalam hal perkembangan jiwa, dan menjadi matang dalam hal berperilaku. Dengan demikian terjadi pembudayaan kehidupan manusia yang membuat manusia itu menjadi manusiawi.
Menjadi manusia yang dewasa, cerdas, dan matang adalah hak asasi setiap manusia.Karena itu, pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Itu berarti pendidikan memang harus berlangsung di sepanjang masa dalam segala situasi lingkungan hidup, baik di lingkungan individual, sosial keluarga, maupun lingkungan masyarakat luas. Jadi, karakteristik pendidikan dalam arti luas adalah:
1. Berlangsung di sepanjang masa, dari generasi ke generasi.
2. Berlangsung di segala bidang kehidupan manusia.
3. Berlangsung di segala tempat dan di segala waktu.
4. Berlangsung dengan sasaran utama pembudayaan manusia menjadi manusia yang manusiawi dalam kehidupannya.

B. Arti Sempit Pendidikan
Dalam arti sempit, pendidikan adalah seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan, dan diberikan evaluasi berdasarkan pada tujuan yang telah ditentukan. Tujuan utamanya adalah mengembangkan potensi intelektual untuk menguasai bidang ilmu tertentu, sehingga mampu merakit sistem teknologi. Kegiatan belajarnya dilaksanakan di dalam lembaga pendidikan sekolah. Dalam melaksanakan kegiatan belajar itu, lembaga pendidikan sekolah membuat perencanaan materi pembelajaran dalam bentuk kurikulum, yang didasarkan pada tujuan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, lembaga pendidikan sekolah mengkoordinasikan sumber daya manusia dan semua fasilitas yang diperlukan.
Dalam arti sempit, pendidikan mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1. Berlangsung dalam waktu yang terbatas, yaitu masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Atau, menurut jenjangnya: pra-sekolah dasar, sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas, dan perguruan tinggi.
2. Berlangsung dalam ruang terbatas, yaitu di lembaga persekolahan sesuai dengan jenjang-jenjangnya.
3. Berlangsung dalam suatu lingkungan khusus yang disengaja diciptakan berdasarkan sistem administrasi dan manajemen tertentu dalam bentuk kelas, dalam rangka efektivitas dan efisiensi kelangsungan proses pembelajaran.
4. Materi pendidikan disusun secara sistemik dan terprogram dalam bentuk kurikulum.
5. Tujuan pendidikan ditentukan oleh lembaga pendidikan sekolah, yang terbatas pada pengembangan kemampuan tertentu untuk membangun kecakapan dan keterampilan hidup.
C. Arti Alternatif Pendidikan
Dalam arti alternatif, pendidikan adalah kegiatan belajar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan sekolah, di bawah otoritas pemerintah, dalam suatu sistem integral yang disebut tripartit pendidikan. Pendidikan tripartit ini mempunyai fungsi dan peranan untuk menjembatani pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat luas. Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk menampung aspirasi pendidikan yang muncul dari setiap keluarga, sehingga dapat dikembangkan di sekolah dan di masyarakat luas.
Karakteristik pendidikan dalam arti alternatif adalah sebagai berikut.
1. Tujuan hakikinya adalah untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional setiap individu.
2. Berlangsung di sepanjang masa menurut jenjang-jenjang tertentu secara linier-kausalistik.
3. Berlangsung hanya di dalam lingkungan sosial budaya, tidak di sembarang tempat.
4. Memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan potensi yang dimiliki setiap individu peserta didik.
D. Paradigma Filsafat Pendidikan
Paradigma filsafat pendidikan mencakup pemikiran dialektis dari tingkat metafisik, tingkat teoretis, sampai tingkat praktis. Tingkat metafisik disebut aspek ontologi. Tingkat teoretis disebut epistemologi. Tingkat praktis disebut etika.
Aspek ontologi pendidikan adalah sistem kegiatan pendidikan yang menekankan pada pembangunan filsafat hidup yang dijiwai oleh nilai kejujuran. Filsafat hidup itu dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kematangan spiritual, dalam bentuk pemahaman yang komprehensif tentang asal mula, tujuan, dan eksistensi hidup.
Aspek epistemologi pendidikan adalah sistem kegiatan pendidikan yang menekankan pembentukan sikap ilmiah yang dijiwai nilai kebenaran. Sikap ilmiah itu dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kematangan intelektual.
Sedangkan aspek etika pendidikan adalah sistem kegiatan pendidikan yang menekankan pengembangan perilaku bertanggung jawab yang dijiwai nilai keadilan. Perilaku bertanggung jawab ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kematangan emosional, dalam bentuk kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melampaui batas.

















BAB IV
Aspek Ontologi Pendidikan (Pengembangan Kecerdasan Spiritual)
Ontologi pendidikan mempersoalkan tentang hakikat keberadaan pendidikan. Pendidikan itu selalu berhubungan dengan eksistensi kehidupan manusia. Eksistensi manusia tidak bisa dipisahkan dengan asal mula dan tujuan hidupnya. Karena itu, ontologi pendidikan dipahami sebagai keberadaan pendidikan dalam hubungannya dengan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.
A. Pendidikan Manusia
Manusia memiliki potensi cipta, rasa, dan karsa. Potensi ini perlu mendapatkan pendidikan yang berkelanjutan. Sasaran utama dari sistem kegiatan pendidikan ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran terhadap eksistensi kehidupannya sebagai manusia yang memiliki asal mula dan tujuan.
Dalam bagian ini, akan dibahas tentang peranan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam melaksanakan sistem kegiatan pendidikan.
Peranan keluarga. Kesadaran adanya nilai keindahan universal, secara ontologis, seharusnya menjadi ciri khas filosofi hidup setiap keluarga. Orantua harus menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran nilai keindahan universal tersebut. Itu berarti, orangtua harus terlebih dahulu menanamkan nilai keindahan universal itu pada dirinya sendiri. Kesadaran adanya nilai keindahan universal itu memiliki potensi kecerdasan spiritual yang landasan kehidupan keluarga yang tertib, teratur, dan harmonis sesuai dengan kodrat asal mula dan tujuan kehidupan. Kecerdasan spiritual itu dapat dibagun dan dikembangkan dengan menanamkan spiritualitas moral syukur, sabar, dan ikhlas dalam setiap kegiatan kehidupan keluarga. Spirit bersyukur dibangun dari kesadaran adanya asal mula. Spirit bersyukur dapat menumbuhkan keyakinan adanya dunia spiritual yang transenden, yang merupakan asal mula. Selanjutnya, keyakinan akan asal mula ini akan menumbuhkan sifat rendah hati. Spirit sabar dibangun dari kesadaran bahwa sepanjang kehidupan ini ada banyak persoalan yang sulit dipecahkan. Spirit sabar ini dapat menumbuhkan nilai kejujuran, sehingga dapat menghindarkan dari perbuatan memaksakan kehendak untuk segera mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Spirit ikhlas dibangun dari kesadaran bahwa, dikehendaki atau tidak, tahapan kehidupan ini pasti berakhir. Spirit ikhlas ini menumbuhkan sikap bersedia menerima konsekuensi apa pun atas segala usahanya.
Peranan sekolah. Seluruh sistem kegiatan pendidikan sekolah dimaksudkan untuk mengembangkan potensi pikiran menjadi cerdas secara intelektual. Mengembangkan pikiran menjadi cerdas secara intelektual, dilakukan dengan cara mengembangkan pengetahuan membaca (reading), menulis (writing), dan berhitung (arithmetics). Target setiap materi yang dipelajari adalah kemampuan kognitif, afektifl, dan psikomotorik.
Peranan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud di sini adalah baik masyarakat formal maupun informal. Dalam konteks pendidikan di masyarakat, komponen kecerdasan spiritual berupa kesadaran asal mula, eksistensi, dan kesadaran tujuan, menjadi berubah bentuknya. Asal mula seluruh kegiatan sosial adalah masyarakat. Eksistensi kegiatan pendidikan adalah seluruh kegiatan yang dilakukan di dalam kehidupan masyarakat. Tujuan seluruh kegiatan yang dilakukan adalah masyarakat.
Kecerdasan spiritual yang ditanamkan di dalam setiap kegiatan sosisal menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran bahwa untuk mencapai tujuan kehidupan ini secara mutlak diperlukan hidup bersama. Kesadaran ini dapat menumbuhkan nilai keadilan sosial.
B. Pendidikan dan Filsafat
Dalam sudut pandang filsafat, substansi ada itu hanya satu. Ada itu berada di dunia metafisik, bersifat abstrak, absolut, dan tidak mengalami perubahan. Dalam dunia fisik, ada ini eksistensinya bersifat plural, konkret, relatif, dan berubah-ubah. Di antara pluralitas ada itu, ada manusia bisa menimbulkan persoalan ketidakharmonisan hubungan antara ada yang satu dengan ada yang lainnya. Hubungan tidak harmonis itu bisa terjadi antara eksistensi manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesamanya (masyarakat), dan manusia dengan lingkungannya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, manusia harus mendidik dirinya sendiri dan mendidik sesamanya. Tujuannya adalah supaya manusia memperoleh pengetahuan yang benar tentang asal mula, eksistensi, dan tujuan dari segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Berdasarkan pengetahuan yang benar tentang asal mula dan tujuan keberadaan segala sesuatu (secara khusus keberadaan hidup manusia itu sendiri), manusia dapat membangun filsafat hidup yang benar sebagai pedoman cara bereksistensinya/cara berperilakunya, sehingga kehidupannya secara pasti bergerak ke arah titik tujuan akhir, bukan bergerak ke arah yang lain. Dengan demikian manusia dapat menciptakan keharmonisan dan kedamaian dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan lingkungannya.
C. Pendidikan dan Sejarah
Sejarah adalah rangkaian peristiwa yang sistematis yang bersumber dari kesadaran akan perlunya perubahan-perubahan untuk mengembangkan dan memajukan kehidupan manusia. Sejarah itu bersifat futuristik. Artinya, peristiwa-peristiwa dalam sejarah itu secara dinamis-kausalistis bergerak menuju waktu yang akan datang. Demikian juga dengan sejarah pendidikan. Pendidikan adalah peristiwa-peristiwa yang sistematis yang bersumber dari kesadaran untuk mengubah dan mengembangkan manusia menjadi manusia yang bernilai kemanusiaan. Dengan demikian manusia dapat bereksistensi dalam sistem dialektis-kausalistis yang secara pasti menuju kehidupan masa depan yang baru, yang lebih baik, yang lebih berbudaya, dan yang berkeadilan.
D. Pendidikan dan Iptek
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil dari pemberdayaan intelektual manusia melalui kegiatan pendidikan yang sistematis. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan pendidikan dapat digunakan untuk menrencanakan dan melakukan perubahan bagi kemajuan dan perkembangan hidup manusia menuju kehidupan yang bernilai kultural manusiawi.
E. Sebuah Paradigma Ontologi Pendidikan
Ontologi pendidikan tidak dapat dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia. Karena, ontologi pendidikan itu secara mutlak berakar dari diri dan keberadaan manusia. Secara ontologis, keberadaan manusia itu mempunyai tiga tingkatan, yaitu tingkat abstrak (abstract essence), tingkat potensial (potential essence), dan tingkat konkret (concrete essence). Karena itu, pendidikan juga dapat dibahas menurut tingkatan-tingkatan tersebut.
Tingkat abstrak pendidikan. Pada tingkat ini, pendidikan itu bersifat universal. Artinya keberadaan pendidikan itu secara mutlak berlaku bagi siapa saja, yang ada di mana saja, dan kapan saja.
Tingkat potensial pendidikan. Pada tingkat ini, pendidikan itu merupakan kekuatan yang dapat membuat manusia berada dalam kepribadiannya sebagai manusia yang kreatif.
Tingkat konkret pendidikan. Pada tingkat ini, pendidikan itu merupakan kekuatan yang dapat membuat manusia secara individu menjadi cerdas secara spiritual, cerdas secara intelektual, dan cerdas secara emosional.













BAB V
Aspek Epistemologi Pendidikan (Pembentukan Kecerdasan Intelektual)
A. Sasaran Epistemologi Pendidikan
Pokok persoalan epistemologi pendidikan adalah pengetahuan yang benar tentang kebenaran pendidikan dan cara menyelenggarakan pendidikan yang benar. Sasaran epistemologi pendidikan adalah pengembangan potensi intelektual untuk menghasilkan keahlian dan keterampilan secara bertanggung jawab. Lingkup pembahasan epistemologi pendidikan meliputi objek pendidikan, metode pendidikan, sistem pendidikan, dan kebenaran pendidikan.
B. Objek Pendidikan
Secara epistemologi, objek pendidikan terdiri dari objek materi dan objek forma. Objek materi pendidikan adalah manusia siapa saja, dalam kondisi apa saja, yang ada di mana saja dan kapan saja. Sedangkan objek formanya adalah manusia dari segi potensi intelektualnya, yaitu seberapa jauh potensi intelektual itu dapat dibimbing untuk dikembangkan menjadi keahlian dan keterampilan.
Berdasarkan objek formanya, materi pendidikan harus disusun sesuai dengan sasaran epistemologinya, yaitu pengembangan potensi intelektual untuk menghasilkan keahlian dan keterampilan secara bertanggung jawab. Materi itu harus diorganisasikan menjadi sebuah kurikulum dengan mempertimbangkan lingkungan tempat pendidikan diselenggarakan. Dalam konteks Indonesia dimulai dari mempertimbangkan lingkungan wilayah Daerah Tingkat Dua, lingkungan wilayah Daerah Tingkat Satu, lingkungan nasional, dan lingkungan internasional.
C. Metode Pendidikan
Secara epistemologis, metode pendidikan adalah cara yang tepat dan benar dalam mendidikan dan mengajarkan isi materi pendidikan. Agar dapat menentukan cara yang tepat dan benar, maka tujuan pendidikan harus dirumuskan secara tajam dan jelas. Telah dijelaskan di atas bahwa tujuan epistemologi pendidikan adalah mengembangkan potensi intelektual manusia untuk menghasilkan keahlian dan keterampilan secara bertanggung jawab. Berdasarkan tujuan itu jelas bahwa di dalam diri manusia sudah ada potensi. Karen itu metode yang tepat, sebagaimana diungkapkan oleh Socrates, adalah metode pembidanan. Seperti seorang bidan menolong kelahiran seorang anak, demikian juga pendidikan mempunyai peran untuk menolong kelahiran potensi yang sudah ada di dalam diri peserta didik. Kemudian potensi itu dikembangkan menjadi keahlian dan keterampilan yang bermanfaat untuk kemajuan dan perkembangan hidupnya.
D. Sistem Pendidikan
Berdasarkn sifat objek studinya, sistem pendidikan itu ada dua macam, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem pendidikan tertutup adalah penyelenggaraan kegiatan pendidikan dalam bentuk pengajaran. Sistem pendidikan terbuka adalah penyelenggaraan kegiatan pendidikan dalam bentuk pembimbingan dan pengasuhan.
Sistem pendidikan tertutup tidak memberi kemungkinan bagi peserta didik untuk mengembangkan dirinya secara kreatif. Kemungkinan yang diberikan hanyalah mengerti dan menguasai materi pangajaran dengan menghafal. Dengan demikian, keahlian dan keterampilan yang dihasilkan adalah keahlian dan keterampilan meniru. Berbeda sekali dengan sistem pendidikan terbuka. Sistem pendidikan terbuka mermberikan kemungkinan yang terbuka lebar bagi peserta didik untuk menumbuhkan dan mengembangkan secara kreatif potensi yang ada di dalam dirinya menjadi keahlian dan keterampilan, yang berguna untuk kemajuan dan perkembangan hidupnya.
E. Kebenaran Pendidikan
Yang dimaksud dengan kebenaran pendidikan dari sudut pandang epistemologi adalah hasil dari kegiatan pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan objek formanya dengan menggunakan metode dan sistem pendidikan yang tepat dan benar. Hasil kegiatan pendidikan itu adalah kecerdasan intelektual berupa kemampuan menciptakan berbagai perubahan secara kreatif untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan sehari-hari.
Secara keilmuan, standar yang digunakan untuk mengukur kebenaran pendidikan adalah keterpaduan antara bentuk dan materi pendidikan yang menghasilkan manusia terdidik, baik secara indivudu maupun sosial (masyarakat). Standar umum untuk menilai individu maupun masyarakat sebagai manusia terdidik adalah: (1) individu atau masyarakat itu telah berhasil menyelesaikan jenjang-jenjang pendidikan formal (sekolah); (2) potensi individu atau masyarakat itu bertumbuh dan berkembang menjadi keahlian, kecakapan, dan keterampilan yang membentuk sikap dan perilaku ilmiah.















BAB VI
Aspek Etika Pendidikan (Pembentukan Kecerdasan Emosional)
A. Etika: Hakikat Nilai Kebaikan
Cabang filsafat yang mempelajari tentang hakikat nilai disebut aksiologi. Aksiologi itu mempersoalkan tiga jenis nilai, yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran, dan nilai kebaikan. Nilai keindahan dibicarakan dalam filsafat estetika. Nilai kebenaran dibicarakan dalam filsafat epistemologi. Sedangkan, nilai kebaikan dibicarakan dalam filsafat etika. Dalam bab ini akan dibicarakan tentang filsafat etika pendidikan dengan sasaran utamanya nilai kebaikan dalam pendidikan.
Etika adalah sebuah penyelidikan filosofis tentang hakikat moral. Moral di sini adalah persoalan tentang apakah tingkah laku dalam hubungannya dengan diri sendiri dan dan sesamanya itu mengandung nilai kebaikan. Hakikat kebaikan yang dipersoalkan dalam etika pendidikan ini adalah nilai baik dipandang dari semua segi. Jadi dipandang dari sisi mana pun, nilai kebaikan itu bersifati mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan.
Menurut sistematika filsafat, nilai kebaikan, nilai kebenaran, dan nilai keidahan itu mempunyai hubungan yang integral-kausalistik. Artinya, Nilai kebaikan akan menyebabkan nilai kebenaran dan nilai keindahan. Nilai kebenaran akan menyebabkan nilai kebaikan dan nilai keindahan. Nilai keindahan akan menyebabkan nilai kebaikan dan nilai kebenaran.
B. Sasaran Etika Pendidikan
Etika pendidikan adalah bagian integral dari filsafat pendidikan, yang tidak dapat dipisahkan dengan ontologi pendidikan dan epistemologi pendidikan. Pemahaman yang benar terhadap ontologi pendidikan dapat menghasilkan kecerdasan spiritual. Pemahaman yang benar terhadap epistemologi pendidikan dapat menghasilkan kecerdasan intelektual. Pemahaman yang benar terhadap etika pendidikan dapat menghasilkan kecerdasan emosional. Ketiga kecerdasan itu saling berhubungan. Kecerdasan spiritual menjadi dasar untuk pengembangan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Sasaran utama etika pendidikan adalah pengembangan potensi kecerdasan emosional yang dibangun di atas dasar kecerdasan spiritual dan intelektual untuk menghasilkan perilaku yang dijiwai oleh nilai kebaikan, yaitu dalam bentuk kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melampaui batas.
















BAB VII
Sistem Pendidikan Terpadu
Dalam bab ini ditawarkan sebuah sistem pendidikan alternatif yaitu sistem pendidikan terpadu, yang diharapkan dapat mendorong dinamika pendidikan nasional yang mengarah kepada pembentukan kehidupan suatu bangsa yang berkepribadian, otonom, kreatif, dan produktif. Dalam sistem pendidikan terpadu ini, posisi pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat ditata dalam posisi saling berhubungan secara fungsional-kausalistik. Secara ringkas sistem ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Pendidikan keluarga diposisikan sebagai tempat pembentukan kecerdasan spiritual. Alasannya adalah bahwa di dalam keluarga itu ada budaya penanaman nilai-nilai kepercayaan spiritual yang terpelihara secara alamiah. Pendidikan sekolah diposisikan sebagai tempat untuk memproses potensi-potensi budaya yang bersumber dari keluarga menjadi sebuah kecerdasan intelektual yang penuh dengan kreativitas. Selanjutnya, pendidikan masyarakat diposisikan sebagai tempat penanaman benih kecerdasan intelektual dalam berbagai wujud keahlian, kecakapan, dan keterampilan hidup. Dengan demikian, masyarakat itu pada saatnya akan memproduksi segala macam kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan fisik sampai kebutuhan spiritual.
Dalam sistem pendidikan terpadu, pendidikan sekolah menduduki posisi sentral dan berfungsi sebagai agen pembaruan terhadap pembudayaan pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Posisi pendidikan sekolah itu ada di tengah antara pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat, yang berfungsi sebagai kelanjutan pendidikan keluarga dan sebagai pintu gerbang memasuki pendidikan masyarakat.
Pendidikan keluarga -------> Pendidikan Sekolah --------> Pendidikan Masyarakat
A. Karakteristik Pendidikan Keluarga
Ciri khas atau karakteristik pendidikan keluarga terefleksi melalui tanggung jawab orangtua terhadap anak. Orangtua membimbing dan merawat anak untuk membentuk karakter dan kepribadian anak agar menjadi dirinya sendiri atau menjadi pribadi yang utuh. Kehidupan keluarga menjadi tempat yang paling baik untuk pembudayaan kepribadian bagi setiap individu. Keluarga menjadi tempat pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan.
B. Lembaga Pendidikan Sekolah
Lembaga pendidikan sekolah adalah organisasi sosial yang objeknya adalah kegiatan belajar. Kegiatan belajarnya diatur secara terjadwal, sistematis, dan berjenjang menurut peraturan yang ditetapkan. Lembaga pendidikan sekolah ini mempunyai kedudukan sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan lanjutan dari pendidikan keluarga. Selain itu, lembaga lembaga pendidikan sekolah berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia, yang mampu membangun kehidupan dalam rumah tangganya kelak dan dengan segala kompetensinya mampu menjadi inovator dan dinamisator sosial. Lembaga pendidikan sekolah dikelola berdasarkan sistem formal-institusional dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip administrasi manajemen.
Karakteristik khusus lembaga pendidikan sekolah adalah sebagai berikut.
1. Menyelenggarakan pembelajaran khusus menurut struktur hierarki kelas.
2. Berisi sejumlah peserta didik yang usinya relatif homogen untuk memudahkan jalannya proses belajar mengajar.
3. Waktu pembelajarannya relatif lama sesuai dengan program pendidikan yang telah direncanakan.
4. Isi materinya cenderung menekankan pada sifat akademis.
5. Sasaran kualitas pendidikannya mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
C. Lembaga Pendidikan Masyarakat
Masyarakat adalah bentuk kehidupan sosial yang merupakan perluasan dari kehidupan keluarga. Masyarakat mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai wadah dan sarana pendidikan. Masyarakat dapat dipahami sebagai lingkungan pendidikan lapisan ketiga setelah pendidikan sekolah. Untuk memasuki lingkungan pendidikan lapisan ketiga ini diperlukan tingkat keahlian, kecakapan, dan keterampilan tertentu. Realitasnya, produk pendidikan sekolah tidak sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan tersebut. Karena itu, perlu adanya perluasan pendidikan alternatif yang disebut pendidikan masyarakat, agar dapat memenuhi keahlian, kecakapan, dan keterampilan yang menjadi tuntutan lingkungan pendidikan lapisan ketiga (masyarakat).
Bentuk penyelenggaraan pendidikan masyarakat bisa bervariasi sesuai dengan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai. Pada dasarnya, penyelenggaraan pendidikan masyarakat dapat dikatergorikan menjadi tiga jenis.
1. Bagi mereka yang tidak mampu sekolah karena segala macam sebab.
2. Bagi mereka yang putus sekolah karena segala macam sebab.
3. Bagi mereka yang sedang aktif mengikuti kegiatan pendidikan sekolah. Keikutsertaannya bisa dengan segala macam alasan atau sebab.
Berdasarkan sifatnya, sistem lembaga pendidikan masyarakat mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1. Tidak mengenal jenjang (kelas/strata), tetapi diproses menurut paket.
2. Peserta didiknya bersifat heterogen.
3. Kegiatan belajarnya dilakukan secara terjadwal dengan metode formal, dan ada evaluasi untuk menentukan kualitas standar.
4. Isi materi pembelajarannya ditekankan pada keterampilan kerja untuk kepentingan peningkatan taraf hidup.
Berdasarkan target sasarannya, pendidikan masyarakat diperuntukkan bagi kalangan luas dan bervariasi.

D. Sistem Pendidikan Terpadu
Sistem pendidikan terpadu adalah sistem pendidikan yang berkesinambungan dengan orientasi kelestarian hidup. Sistem pendidikan terpadu terdiri dari lembaga pendidikan keluarga, lembaga pendidikan sekolah, dan lembaga pendidikan masyarakat. Gambaran tentang sistem pendidikan terpadu ini telah dijelaskan di bagian awal bab ini.
E. Keluarga: Sumber Pencerdasan Spiritual
Keluarga adalah tempat yang paling baik untuk menumbuhkembangkan kecerdasan spiritual berupa kesadaran terhadap asal mula dan tujuan hidup. Kesadaran terhadap asal mula dan tujuan hidup ini dapat digunakan untuk membangun filosodi hidup yang mengarahkan kepada tujuan akhir kehidupan. Kesadaran terhadap asal mula dan tujuan hidup ini dapat ditanamkan dan diperjelas melalui nilai-nilai moral dalam adat-istiadat, peradaban, kebudayaan, dan ajaran agama yang diperlihara dalam keluarga.
F. Sekolah: Sumber Pencerdasan Intelektual
Pendidikan sekolah menduduki posisi sentral di antara pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Dalam posisi ini, pendidikan sekolah berfungsi sebagai penyebar nilai-nilai kebudayaan atau moral-spiritual kemanusiaan yang bersumber dari kehidupan keluarga. Karena itu, pendidikan sekolah harus menjadi tempat untuk mengolah nilai-nilai kebudayaan atau moral-spiritual kemanusiaan tersebut menjadi kecerdasan intelektual yang mengandung nilai kebenaran yang bersifat rasional dan empirikal.
G. Masyarakat: Sumber Pencerdasan Emosional
Semua sumber daya manusia yang dihasilkan pendidikan sekolah merupakan masukan bagi masyarakat. Masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya manusia tersebut sesuai dengan tingkat keahlian, kecakapan, dan keterampilan yang dibutuhkan. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya manusia dalam masyarakat dengan sikap dan perilaku yang objektif, kreatif, dan produktif dapat menjadi sumber pencerdasan emosional yang baik.

BAB VIII
Evaluasi dan Kesimpulan (Prototipe Masyarakat Terdidik)
Pendidikan mempunyai andil yang besar dalam krisis kehidupan yang terjadi dalam masyarakat modern ini. Karena itu, perlu adanya reformasi sistem pendidikan ke arah sistem pendidikan terpadu, sehingga dapat menghasilkan masyarakat yang terdidik.
A. Pilar Bangunan Masyarakat Terdidik
Pilar masyarakat terdidik adalah filsafat hidup yang transenden, sikap dan perilaku hidup spiritual yang sesuai dengan hakikat asal mula, eksistensi, dan tujuan hidup. Filsafat hidup ini bersifat universal, absolut, tidak mengalami perubahan, dan tidak dapat digantikan dengan filsafat hidup sekuler. Dengan pilar ini, masyarakat didorong untuk menghasilkan kehidupan yang cerdas secara spiritual, cerdas secara intelektual, dan cerdas secara emosional.
B. Model Bangunan Masyarakat Terdidik
Model bangunan masyarakat terdidik adalah model bangunan masyarakat yang didasarkan pada kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional. Model bangunan masyarakat yang demikian dapat dibangun dengan melakukan pendidikan yang didasarkan pada hakikat asal mula, eksistensi, dan tujuan hidup, sehingga menghasilkan kecerdasan yang terpadu antara potensi spiritual, intelektual, dan emosional. Dengan demikian akan terbangun model masyarakat terdidik bercirikan tiga moralitas yang saling berhubungan secara kausalistik. Ketiga moralitas itu adalah moral bersyukur, moral bersabar, dan moral berikhlas.
C. Masyarakat Terdidik, Masyarakat Maju
Masyarakat yang terdidik dan maju adalah masyarakat yang sikap dan perilakunya berkembang sesuai dengan tingkat pengetahuan rasional dan empirik, serta tingkat keyakinan keagamaannya, yang dijiwai oleh moralitas bersyukur, bersabar, dan berikhlas. Dengan demikian, kehidupan masyarakat digerakkan kepada satu arah, yaitu tujuan akhir kehidupan.

0 comments:

Posting Komentar