FILSAFAT PENDIDIKAN
Pendahuluan
Krisis Kehidupan
Krisis filosofi hidup mengakibatkan krisis kehidupan di segala bidang. Di era pasca-industrialisasi ini, manusia mengalami kemajuan pesat di bidang intelektual. Tetapi, pada saat yang sama, manusia mengalami krisis kehidupan secara spiritual dan moral. Fakta menunjukkan bahwa pelaku-pelaku tindak kejahatan di segala bidang adalah justru orang-orang yang terdidik/kaum intelektual. Semua ini adalah akibat dari krisis filosofi hidup. Krisis filosofi hidup itu berakar dari krisis pendidikan, yaitu pendidikan di keluarga, di sekolah dan di masyarakat.
Beberapa pokok bahasan
berikut ini dapat memberikan gambaran tentang tingkat krisis kehidupan yang
terjadi dan pengaruh pendidikan terhadap kehidupan manusia.
A. Kebangkrutan Ekonomi
Kepadatan penduduk
dunia dan asumsi ketidaksesuaian ketersediaan pangan, mendorong timbulnya
filsafat hidup positivisme-materialistik. Filsafat hidup ini menyebabkan
manusia berusaha memperoleh kekayaan material sebanyak-banyaknya dengan segala
cara. Tampaknya manusia cenderung memilih perdagangan sebagai cara utama yang
digunakan. Maka timbullah ekonomi perdagangan dengan persaingan yang ketat,
baik secara individual maupun sosial. Moralitas persaingan ini menyebabkan
timbulnya ekonomi kapitalistik. Selanjutnya, ekonomi kapitalistik menyebabkan
timbulnya monopoli perdagangan, mulai dari proses produksi sampai mekanisme
pasar. Monopoli perdagangan ini menyebabkan masyarakat terpecah menjadi dua
kelompok, yaitu masyarakat produsen dan masyarakat konsumen.
Tanpa disadari, secara
nyata telah terjadi sebuah kompromi nilai antara podusen dan konsumen, yaitu
nilai 'kenikmatan' hidup dari barang-barang produksi. Dengan komproni ini,
produsen dapat menguasai pasar dan menikmati keuntungan yang besar melalui
barang-barang produksi yang diberikan kepada konsumen. Semakin besar kenikmatan
yang diberikan melalui barang-barang produksi, semakin besar kebergantungan
konsumen pada produsen. Maka kaum kapitalis semakin leluasa menguasai konsumen
dan ekonomi perdagangan.
Di balik kompromi
nilai kenikmatan ini, sesungguhnya produsen sedang diproses menuju sikap dan
perilaku serakah, yang secara alamiah bersifat merusak dan menghancurkan.
Sementara itu, konsumen diproses menuju sikap dan perilaku bergantung pada
produsen, pasif, malas dan tidak kreatif. Moralitas negatif ini, pada saatnya
akan menciptakan kondisi di mana produsen memangsa konsumen, dan produsen
memangsa sesama produsen. Pada saat seperti inilah kebangkrutan ekonomi terjadi
dan akan merusak tatanan kehidupan manusia.
B. Kemunafikan Politik
Euforia politik
demokratis telah menjadi sesuatu yang fenomenal di abad ke-21 ini. Tetapi
euforia politik itu hanya sebuah permainan, yaitu permainan uang. Ini yang
menjadi ciri khas abad ekonomi kapitalistik.
Semangat ekonomi
kapitalistik ini telah merasuki moralitas para pejabat negara dan membentuk
filosofi hidup yang merusak. Filosofi hidup para pejabat negara adalah
memperoleh kekuasaan untuk mendapatkan kekayaan materi sebanyak-banyaknya dari
negara. Jadi, orientasi kekuasaan yang diperjuangkan itu adalah keleluasaan
untuk mendapatkan kenikmatan ekonomi material. Di sini telah terjadi pergeseran
nilai substansial dari politik, yaitu kecerdasan dalam mengambil kebijakan
bergeser menjadi kebijakan mengandung kelicikan.
Dengan dalih
demokrasi, para politisi membuat kebijakan-kebijakan dasar yang sebenarnya
dimaksudkan untuk membuka kesempatan besar bagi dirinya supaya dapat meraih
keuntungan yang besar dari negara. Jadi, kekuasan negara itu dimanipulasi
menjadi alat eksploitasi habis-habisan untuk mendapatkan kenikmatan hidup.
C. Ketidakadilan Hukum
Sikap tidak adil dan
otoriter dari pihak penguasa memicu perlawanan pihak lemah yang diwujudkan
dalam bentuk teror. Terorisme adalah bentuk protes terhadap penyalahgunaan
kekuasaan yang diperoleh dari proses demokrasi. Kaum kapitalis, yang saat ini
sedang yang berkuasa, telah menjadikan negara-negara sedang bekembang sebagai
objek kekuasaan otoriternya. Kepada negara-negara yang tidak berdaya ini, hukum
diterapkan atau dilaksanakan secara tidak adil. Perlakuan tidak adil ini
menyuburkan tumbuhnya terorisme.
Ketidakadilan itu
dipicu oleh sifat serakah. Sifat serakah adalah moralitas konsumeristik yang
diakibatkan oleh kekuasaan ekonomi kapitalistik. Moralitas konsumeristik ini
mengarahkan manusia kepada filosofi hidup hedonistik (kenikmatan hidup
sementara). Filosofi hidup hedonistik ini secara nyata telah mengakibatkan
legitimasi kesalahan, pembenaran perilaku korup dan suap, penghalalan segala
cara.
Di negara-negara
berkembang, seperti Indonesia, penegakan hukum secara adil sulit diwujudkan,
karena para pejabat negara dan penegak hukum justru terlibat dalam tindak
kejahatan di segala bidang. Di Indonesia, hukum itu cenderung membiarkan
kejahatan, tetapi mengawasi dan mengontrol kebaikan dan kejujuran. Karena itu,
orang yang bermoral baik, jujur dan adil akan tersingkir, tetapi orang yang
jahat justru diangkat jadi pejabat dengan posisi yang baik.
D. Kehancuran Pendidikan dan Kebudayaan
Perkembangan teknologi
dan industri yang begitu pesat adalah hasil dari pendidikan. Pendek kata,
sekarang ini pendidikan telah mencapai titik puncak kemajuan. Tetapi di tengah
kemajuan ini, moral keserakahan ekonomi, moral kekuasaan otoriter politik, dan
moral ketidakadilan hukum justru merajalela. Keadaan kontradiktif ini terutama disebabkan
oleh karena pendidikan dilepaskan dari pemberdayaan teknologi dan industri.
Ketika pemberdayaan
teknologi dan industri tidak disertai dengan pendidikan, maka akan menciptakan
ruang yang bebas bagi perkembangan moral keserakahan. Moral keserakahan ini
secara alami dan secara langsung akan memberi ruang bagi perluasan ekonomi
kapitalistik, kekuasaan politik otoriter, dan ketidakadilan hukum. Dengan kata
lain, ketika pendidikan itu dilepaskan dari pemberdayaan teknologi dan
industri, maka pendidikan akan terseret mengikuti kecenderungan pemanfaatan
teknologi secara parktis dan pragmatis. Pemanfaatan teknologi secara parktis
dan pragmatis adalah perilaku dominan dari kapitalisme hedonistik.
Ketika moralitas
kapitalisme hedonistik merasuki dunia pendidikan, maka orientasi pendidikan
akan bergeser ke arah kenikmatan ekonomi material. Pergeseran orientasi ini
menyebabkan penyelenggaraan pendidikan menjadi bersifat komersial. Orientasi
komersial ini telah merasuk ke dunia pendidikan, mulai dari pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi. Akibatnya, dunia pendidikan tidak lagi mampu melakukan
pembaruan kehidupan masyarakat dan menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas
dan kreatif. Hal ini terbukti dengan adanya banyak pengangguran intelektual.
Banyaknya tingkat
pengangguran intelektual akan menyuburkan tumbuhnya sikap dan perilaku
bergantung, dan juga menumbuhkan moral konsumtif-konsumeristik. Sikap moral dan
perilaku semacam ini sangat kontradiktif dengan substansi kebudayaan dan
kontradiktif dengan visi dan misi pendidikan untuk melakukan pembaruan dan
pembudayaan kehidupan.
E. Filsafat Hidup: Hedonisme Materialistik
Kemajuan teknologi
tidak hanya berdampak pada pergeseran kehidupan dari sistem agraris ke sistem
industri, tetapi juga pergeseran filsafat hidup dari spiritual ke
positivisme-materilistik. Pergeseran filsafat hidup ini telah menyebar dengan
cepat ke seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa ketersediaan
sumber daya alam tidak seimbang dengan kepadatan penduduk dunia. Anggapan ini
menyebabkan manusia dipacu hidup kreatif, dinamis, dan kompetitif. Dengan
demikian, manusia yang pasif terancam tidak mendapat bagian dan terancam
kelaparan. Di sini, materi menjadi segala-galanya bagi manusia.
Materi menjadi
orientasi hidup manusia. Tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kenikmatan
material di dalam dunia ini, bukan untuk mencapai kehidupan rohani di dunia
akhirat atau surga. Karena itu, setiap orang berlomba-lomba mendapatkan materi
sebanyak-banyaknya dan berusaha meraih kemewahan hidup material. Materi kini
menjadi ukuran bagi harkat dan martabat manusia.
Dari urian di atas,
kita dapat menilai bahwa pendidikan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat
mempunyai andil yang besar terhadap krisis kehidupan di segala bidang. Harus
diakui bahwa pendidikan telah menghasilkan perubahan, tetapi perubahan itu juga
menyebabkan kerugian dan krisis kehidupan di segala bidang. Fakta menunjukkan
bahwa pendidikan telah mendorong manusia ke arah filosofi hidup
hedonisme-materialistik. Padahal, seharusnya pendidikan itu memberikan
pencerahan kepada manusia sehingga mempunyai kehidupan yang cerdas secara
spiritual, cerdas secara intelektual, dan cerdas secara emosional.
BAB I
Isi dan Arti Filsafat
A. Pendekatan Etimologis
Filsafat berasal dari
kata Yunani phillein yang berarti cinta dan sophia yang berarti
hikmat atau kebijaksanaan. Jadi, filsafat itu berarti cinta hikmat atau
kebijaksanaan. Cinta itu menggambarkan tindakan yang melibatkan subjek dan
objek. Subjek punya kecenderungan untuk menyatu dengan objek. Penyatuan subjek
dan objek sangat ditentukan oleh pengetahuan subjek tentang sifat atau hakikat
objek. Sedangkan hikmat atau kebijaksanaan itu menggambarkan pengetahuan hakiki
tentang bijaksana. Jadi, kebijaksanaan adalah hakikat dari perbuatan bijaksana.
Perbuatan bijaksana itu bersifat benar, baik, dan adil.
Berdasarkan pendekatan
etimologis ini, dapat diartikan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang
pengetahuan.
B. Perkembangan Beberapa Aliran
Pembahasan aliran
filsafat di sini bersifat selektif. Tujuannya adalah untuk menarik benang merah
dari setiap perkembangan pemikiran filosofis dari zaman ke zaman, yang relevan
dengan konteks pembahasan pendidikan.
1. Materialisme: Herakleitos dan Parmenides
Filsafat Herakleitos
(535-475 SM) dikenal dengan filsafat menjadi (to become). Dia
berpendapat bahwa segala sesuatu itu terus mengalami perubahan. Tidak ada
sesuatu pun yang tetap, definitif, dan sempurna. Segala sesuatu sedang bergerak
menjadi dan sedang mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi dalam realitas
konkret, dalam ruang dan waktu tertentu.
Pandangan ini
menunjukkan bahwa Herakleitos tidak mengakui adanya pengetahuan umum yang
tetap, karena segala sesuatu terus berubah menjadi. Dia tidak mengakui
kemampuan akal menangkap pengetahuan yang benar, tetapi mengakui kemampuan
indra, karena perubahan segala sesuatu terjadi dalam realitas konkret.
Pandangan yang
bertentangan dikemukakan oleh Parmenides (540-575) yang dikenal sebagai 'bapak
filsafat ada' (philosophy of to be) dan peletak dasar metafisika. Dia berpendapat
bahwa realitas yang sesungguhnya itu bukan yang berubah dan bergerak menjadi
bermacam-macam pengada, tetapi realitas itu adalah yang 'ada' dan bersifat
tetap. Jadi, dalam realitas ini penuh dengan 'ada'. 'Ada' itu hanya satu,
sempurna, dan tidak terbagi-bagi. Jadi kebenaran itu adalah bahwa 'yang ada'
itu ada, dan 'yang tidak ada' itu tidak ada.
Dalam pertentangan
antara pengetahuan indera dan pengetahuan akal budi, Parmenides menolak
kebenaran indera, seperti yang diakui Herakleitos. Menurut Parmenides,
pengetahuan yang benar adalah pengetahuan akal, karena bersifat umum, tetap,
dan tidak berubah.
2. Idealisme: Socrates dan Plato
Socrates (469-399)
berpendapat bahwa dunia yang sesungguhnya, yang utuh dalam kesatuan yang tetap,
dan yang tidak berubah adalah 'dunia ide'. Semua yang ada di dunia yang
kelihatan ini adalah semu, karena penuh dengan perubahan. Dunia ini adalah
bayang-bayang dari ide. Jadi, tidak bisa disebut sebagai kebenaran. Kebenaran
yang absolut hanya ada di dalam ide. Ajaran Socrates ini dikembangkan secara
matang oleh Plato. Pandangan Socrates dan Plato ini dikenal sebagai paham
'idealisme'.
3. Realisme: Aristoteles (384-342 SM)
Pandangan Aristoteles
bertentangan dengan Plato, gurunya. Dia berpendapat bahwa dunia yang
sesungguhnya adalah dunia real, yang konkret, yang bermacam-macam, yang
bersifat relatif, dan yang berubah-ubah. Sedangkan duni 'ide' itu adalah dunia
yang abstrak, tidak real, dan terlepas dari pengalaman. Padangan Aristoteles
ini dikenal sebagai paham 'realisme'.
Aristoteles juga
dikenal sebagai 'bapak metafisika'. Pemikiran Aristoteles tidak berhenti pada
hal yang konkret, tetapi juga mencakup pemikiran tentang sesuatu yang ada di
balik (melampaui) sesuatu yang konkret dan yang selalu berubah-ubah. Beberapa
teorinya yang terkenal adalah 10 (sepuluh) kategori, teori aktus dan potensia,
dan teori 'hule-morfisme'.
4. Rasionalisme: Rene Descartes (1596-1650)
Descartes berpendapat
bahwa rasio adalah realitas yang sesungguhnya. Rasio adalah sumber dari
pengetahuan yang benar. Kebenaran yang tetap dan objektif hanya ada di dalam
dunia rasio. Pengamatan indra kita itu tidak memberikan pengetahuan yang pasti,
tetapi bisa menipu kita. Karena itu tidak dapat disebut sebagai kebenaran. Inti
pengajaran Descartes diungkapkan dengan perkataan "cogito ergo sum".
Ungkapan ini diterjemahkan: saya berpikir, maka saya ada. Pengetahuan 'saya
ada' ini disebut kebenaran.
5. Empirisme: John Locke (1632-1704)
Pandangan John Locke
bertentangan dengan Descartes. Menurut Locke, pengalaman dalam dunia yang
konkret adalah sumber dari pengetahuan yang benar. Kebenaran yang objektif
hanya dapat diperoleh melalui pengalaman indera dalam situasi dan kondisi
tertentu. Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman indera ini bersifat
objektif, konkret, dan berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu.
Pengetahuan semacam ini tidak dapat dijangaku oleh rasio. Rasio hanya dapat
mengetahui secara abstrak, umum, dan tidak berubah atau bersifat tetap.
6. Kritisisme: Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant berpendapat
bahwa substansi dari sesuatu yang nampak, tidak dapat disentuh baik oleh
kemampuan rasio maupun pengalaman. Sesuatu yang nampak yang dapat dialami dan
dipikirkan itu hanyalah gejala, bukan substansinya.
Selanjutnya,
berdasarkan pengetahuan sintetik apriori, sintetik aposteriori, analitik
apriori, dan analitik aposteriori, Kant membuktikan bahwa kemampuan rasio dan
pengalaman itu tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki kekuatan dan
kelemahan. Rasio memiliki kemampuan menangkap kebenaran pengetahuan secra umum,
tetapi lemah dan kabur terhadap pengetahuan konkret yang khusus. Sedangkan,
pengalaman memiliki kekuatan mengenali setiap hal yang khusus, tetapi kabur
terhadap prinsip-prinsip umum.
C. Pendekatan Objektif
Objek materi dari
filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Yang ada itu terdiri dari ada manusia,
ada alam, dan ada causa prima (Sang Pencipta). Sedangkan, objek formanya
adalah seluruh segi dari segala sesuatu yang ada, mulai dari yang abstrak
sampai yang konkret. Seluruh realitas secara menyeluruh menjadi objek
penyelidikan dari filsafat.
Realitas itu dibagi
menjadi dua jenis, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Realitas kuantitatif
terdiri dari realitas manusia, realitas alam, dan realitas causa prima.
Realitas kualitatif terdiri tiga sisi, yaitu sisi abstrak, sisi konkret, dan
sisi potensi. Sisi abstrak bersifat umum-universal. Sisi konkret bersifat
khusus-individual. Sisi potensi bersifat aktual dan bersifat tampak seolah-olah
aktual. Jadi sisi potensi ini berada di antara abstrak dan konkret.
D. Definisi Akumulatif
Kebenaran pengetahuan
yang absolut diperoleh melalui kegiatan berpikir filosofis yang bersifat
akumulatif. Artinya, kegiatan berpikir filosofis itu dilakukan secara
sistematis dan cermat dari satu tahap ke tahap berikutnya. Kegiatan perpikir
dari tahap ke tahap dilakukan dengan metode abstraksi. Kegiatan berpikir itu
adalah mengabstraksikan pluralitas yang konkret dengan melepaskan
atribut-atribut yang menjadi pembeda pada objek, sehingga akhirnya diperoleh
satu hal, yaitu substansi objek.
Dari paparan tentang
isi dan arti filsafat di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa filsafat itu
secara metodologis memikirkan objek materinya berdasarkan seluruh segi yang
ada. Demikian juga tentang pendidikan yang berkaitan dengan manusia, pendidikan
itu akan dipikirkan secara metodologis berdasarkan seluruh segi dari hakikat
keberadaan manusia.
BAB II
Hakikat Manusia dan Persoalan Pendidikan
A. Hakikat Manusia
Pendidikan itu
mengupayakan agar pengetahuan mempunyai hubungan yang kausalistik-fungsional
dengan perilaku sehari-hari. Dengan demikian manusia dapat menjalani hidup
sesuai dengan hakikatnya.
1. Manusia Makhluk
Berpengetahuan
Pada hakikatnya,
manusia itu mempunyai potensi cipta (nilai kebenaran), rasa (nilai keindahan),
dan karsa (nilai kebaikan). Ketiga potensi ini menyebabkan manusia memiliki
dorongan ingin tahu dan dapat memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai
kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang terkandung di dalam segala sesuatu yang
ada. Ketiga jenis pengetahuan yang diperoleh manusia itu membentuk sebuah
sistem yang menjadi dasar untuk membangun filsafat hidup, menentukan pedoman
hidup, dan mengatur sikap dan perilaku hidup yang mengarahkan kepada
pencapaian tujuan hidup.
Filsafat hidup adalah
pengetahuan manusia yang universal tentang asal mula, tujuan, dan eksistensi
kehidupan. Pedoman hidup adalah pengetahuan umum yang dijadikan sebagai prinsip
yang dianggap benar, karena sesuai dengan hakikat asal mula dan mengarahkan
pada pencapaian tujuan hidup. Sedangkan, sikap dan perilaku hidup adalah
pengetahuan yang khusus dan konkret yang diwujudkan dalam tindakan hidup yang
dituntun oleh pedoman hidup.
2. Manusia Makhluk
Berpendidikan
Setiap manusia sudah
menjalani pendidikan sejak dia lahir, yaitu pendidikan oleh orangtua, keluarga,
dan masyarakat. Pendidikan itu berlangsung terus hingga mencapai kedewasaan dan
kematangan. Pendidikan itu diselenggarakan mulai dengan cara yang konvensional
sampai dengan cara yang formal, metodik, dan sistematis institusional.
Ketika seorang manusia
telah mencapai pendidikan pada tahap kedewasaan, di terus menjalani proses
pendidikan untuk mencapai tahap pematangan diri. Pematangan diri adalah
pendidikan lanjutan agar manusia berperilaku arif dan adil, dapat menolong diri
sendiri, menolong orang lain, dan menjadi bagian yang integral dari eksistensi
kehidupa di sekitarnya.
3. Manusia Makhluk
Berkebudayaan
Melalui pendidikan,
manusia dapat memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran yang membentuk
sikap dan perilaku yang arif dan adil. Kemudian dengan sikap dan perilaku arif
dan adil ini, manusia membangun kebudayaan dan peradabannya yang seimbang, baik
secara material maupun spiritual, dan secara horizontal maupun vertikal.
Dengan sikap dan
perilaku yang terdidik, manusia secara hakiki membangun hubungan yang
berkeadilan baik dengan diri sendiri, sesama, maupun dengan lingkungannya.
Membangun hubungan yang berkeadilan dengan diri sendiri diwujudkan dengan
memenuhi kewajiban kodrati dirinya sebagai manusia. Membangun hubungan yang berkeadilan
dengan sesama diwujudkan dengan memenuhi kewajiban kodratinya untuk memberikan
apa yang menjadi hak bagi sesamanya. Membangun hubungan yang berkeadilan dengan
alam/lingkungan diwujudkan dengan memenuhi kewajiban kodratinya untuk
memelihara dan melestarikan alam dan sumber dayanya.
B. Filosofi Kehidupan
Secara filosofis
persoalan hidup manusia yang kompleks itu dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama,
masalah asal mula sebagai titik awal yang ditandai dengan peristiwa kelahiran. Kedua,
masalah tujuan sebagai titik akhir yang ditandai dengan peristiwa kematian. Ketiga,
masalah eksistensi sebagai garis perjalanan hidup yang menghubungkan titik awal
dan titik akhir. Jika manusia meyakini bahwa hidup ini asal mulanya dari Tuhan,
maka harus meyakini juga bahwa tujuan hidup ini adalah untuk kembali kepada
Tuhan. Karena itu, seluruh sikap dan perilaku di sepanjang garis perjalanan
hidup harus bernilai ketuhanan.
Dalam sudut pandang
filosofis, titik awal (asal mula) dan titik akhir (tujuan) itu identik dan
berada di dunia metafisik. Karena itu, hanya satu adanya. Adanya itu bersifat
universal, absolut, dan tidak mengalami perubahan. Sedangkan garis perjalanan
hidup (eksistensi) itu berada di dunia fisik. Adanya garis perjalanan hidup
(eksistensi) itu bersifat plural, serba berhingga (berbatas), khusus, dan
berubah-ubah. Karena itu relatif adanya.
Dunia metafisik dan
dunia fisik seirngkali dianggap saling bertentangan. Sebenarnya, dunia fisik
itu merupakan perwujudan atau perluasan dari dunia metafisik. Jadi, dunia
metafisik dan dunia fisik itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh
yang tidak dapat dipisahkan. Secara fenomenologis, dunia fisik ini merupakan
gejala atau penampakan dari dunia metafisik.
Dunia fisik inilah
yang menjadi sumber segala macam persoalan hidup manusia. Akumulasi persoalan
hidup itu dapat secara tajam memisahkan titik awal (asal mula) dan titik akhir
(tujuan). Akibatnya, kehidupan ini hanya berhingga (berbatas) sampai pada titik
fisik sekular. Selanjutnya, kehidupan ini menjadi serba fisik material dan
secara pasti akan menyuburkan tumbuhnya moral keserakahan, yang secara
perlahan, namun pasti, akan merusak tatanan dan ketertiban dunia kehidupan
manusia.
C. Hakikat Asal Mula dan
Tujuan Pendidikan
Pikiran manusia yang
terbatas tidak mungkin dapat mengetahui secara pasti substansi/hakikat titik
awal dan titik akhir. Ketikdakmampuan mengetahui secara pasti titik awal dan
titik akhir itu sebaliknya justru menyatakan adanya sesuatu yang pasti, yang
bersifat mutlak, dan tak terbatas. Pikiran manusia tidak akan pernah mampu
menjelaskan secara rinci tentang substansi titik awal (asal mula) dan titik
akhir (tujuan) yang bersifat tak terbatas itu.
Jika diyakini bahwa
titik awal itu adalah causa prima atau Tuhan, maka yang pasti dapat dipikirkan
dan disimpulkan secara logis oleh manusia adalah bahwa hakikat titik awal (asal
mula) itu hanya satu, bersifat universal, absolut, dan tidak mengalami
perubahan. Titik awal (asal mula) itu berada di dunia metafisik dan menjadi
sumber dari segala sesuatu yang ada.
Jika diyakini bahwa
titik awal adalah causa prima atau Tuhan dan titik akhir (tujuan) hidup
adalah "surga" (Tuhan juga), maka yang pasti dapat dipikirkan dan
disimpulkan secara logis oleh manusia adalah bahwa hakikat titik akhir (tujuan)
hidup itu hanya satu, bersifat universal, absolut, dan tidak mengalami
perubahan. Titik akhir (tujuan) itu berada di dunia metafisik dan menjadi
tujuan akhir dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.
D. Problematika
Pendidikan dalam Kehidupan
Di tengah pesatnya
kemajuan ilmu dan teknologi secara kuantitatif, pendidikan justru mengalami
kemerosotan secara kualitatif. Berikut ini akan dipaparkan penyebabnya.
Sejak dimulainya era
perindustrian, perilaku hidup manusia didominasi oleh kecerdasan intelektual.
Sementara itu, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional diabaikan,
sehingga potensinya menjadi semakin lemah. Kecerdasan intelektual lebih dominan
karena potensinya yang bersifat kreatif dan dapat segera menjawab segala macam
kebutuhan sehari-hari. Sedangkan, potensi kecerdasan spritual dan kecerdasan
emosional lebih bersifat teoretis dan normatif dan jauh dari pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.
Dominasi kecerdasan
intelektual ini menyebabkan hidup manusia penuh dengan persaingan dan hidup
manusia dipolakan secara dikotomis menjadi pihak pemenang dan pihak yang kalah.
Keadaan masyarakat yang demikian ini menjadi tempat yang subur bagi
berkembangnya sifat egoistik, oportunistik, manipulatif, koruptif, dsb., demi
meraih kemenangan.
Selain itu, era
perindustrian juga menyebabkan sifat manusia menjadi pesimistik. Pesimisme ini,
pertama, berbentuk rasa takut tidak mendapatkan bagian dan takut kelaparan.
Kedua, pesimisme itu berbentuk dorongan berlebihan untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa peduli orang lain. Kedua sisi pesimisme ini
mengembangkan bentuk kehidupan eksploratif-oportunistik.
Bentuk kehidupan
inilah yang menjadi permulaan terjadinya krisis kehidupan. Sikap dan perilaku
semula dari kehidupan eksploratif-oportunistik adalah berusaha melipatgandakan
sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara efektif dan
efisien. Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, tidak lagi berupaya untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang bersifat terbatas melainkan
berusaha memenuhi keinginan yang tidak ada batasnya.
Revolusi industri di
Inggris dan revolusi politik di Prancis juga membawa dampak terhadap merosotnya
kualitas pendidikan. Kedua revolusi itu menghasilkan sistem kekuasaan politik
pemerintahan kolonial dan sistem perekonomian kapitalistik. Kedua sistem ini
menjadi sarana yang luar biasa bagi berkembangnya sifat serakah, baik secara
individu maupun sosial. Sekarang moralitas serakah ini sedang menghancurkan
integritas diri secara individu dan sosial dari komunitas perkotaan sampai
komunitas pedesaan. Moralitas serakah ini mewujud dalam bentuk eksplorasi,
eksploitasi, monopoli, korupsi, manipulasi, pungli, dsb..
Realitas di atas
menunjukkan bahwa ada yang stagnan dan terabaikan di dalam dunia pendidikan,
yaitu pendidikan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dan kecerdasan
emosional.
E. Problematika
Pendidikan
Persoalan pendidikan
yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi dan perindustrian dapat dirumuskan
dengan pertanyaan berikut ini.
1. Apakah pendidikan untuk teknologi dan perindustrian?
2. Apakah teknologi dan perindustrian untuk pendidikan?
Jika pendidikan untuk teknologi
dan perindustrian, itu adalah hal yang wajar. Memang pada akhirnya seluruh
kegiatan pendidikan adalah untuk menciptakan teknologi dan perindustrian.
Tetapi, ketika pendidikan itu semata-mata hanya untuk teknologi dan
perindustrian, maka sebenarnya pendidikan itu sedang merusak nilai hakiki
pendidikan itu sendiri. Nilai kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional
menjadi terabaikan dan dianggap tidak memiliki relevansi dengan pelipatgandaan
produksi. Di sinilah problem pendidikan muncul.
Jika teknologi dan
perindustrian untuk pendidikan, itu pun juga wajar. Teknologi dan perindustrian
dapat menjadi sarana untuk perkembangan kehidupan sosial dan pertumbuhan
masyarakat yang terdidik. Tetapi yang menjadi persoalan adalah bahwa teknologi
dan perindustrian itu dapat menciptakan sesuatu sesuai dengan keinginan
manusia. Di sini akan terjadi perubahan orientasi. Teknologi dan perindustrian
tidak lagi berorientasi kepada kebutuhan yang sifatnya terbatas, tetapi
berorientasi pada keinginan yang tidak terbatas. Akibatnya, nilai kualitatif
pendidikan bergeser ke nilai kuantitatif. Pergeseran nilai ini dapat mengubah
pendidikan yang semula berorientasi pada proses menjadi berorientasi pada
hasil. Pergeseran nilai kualitatif ke kuantitatif ini juga menjerumuskan pendidikan
ke dalam komersialisasi pendidikan.
BAB III
Arti Pendidikan: Pendekatan Eksistensial
Keberadaan pendidikan
dibedakan menjadi tiga kategori: keberadaan pendidikan dalam arti luas, dalam
arti sempit, dan dalam arti alternatif.
A. Arti Luas Pendidikan
Dalam arti luas,
pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan pembelajaran yang berlangsung di
sepanjang masa dalam segala situasi kehidupan. Pendidikan itu dimaksudkan untuk
menumbuhkan dan mengembangkan segala pontensi yang ada di dalam diri individu.
Melalui kegiatan pendidikan itu, setiap individu mengalami proses perubahan
sistematis menjadi semakin dewasa, cerdas, dan matang. Menjadi dewasa dalam hal
perkembangan fisik, menjadi cerdas dalam hal perkembangan jiwa, dan menjadi
matang dalam hal berperilaku. Dengan demikian terjadi pembudayaan kehidupan
manusia yang membuat manusia itu menjadi manusiawi.
Menjadi manusia yang
dewasa, cerdas, dan matang adalah hak asasi setiap manusia.Karena itu, pada
dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Itu berarti pendidikan memang harus berlangsung di sepanjang masa dalam segala
situasi lingkungan hidup, baik di lingkungan individual, sosial keluarga,
maupun lingkungan masyarakat luas. Jadi, karakteristik pendidikan dalam arti
luas adalah:
1. Berlangsung di sepanjang masa, dari generasi ke generasi.
2. Berlangsung di segala bidang kehidupan manusia.
3. Berlangsung di segala tempat dan di segala waktu.
4. Berlangsung dengan sasaran utama pembudayaan manusia menjadi manusia yang
manusiawi dalam kehidupannya.
B. Arti Sempit Pendidikan
Dalam arti sempit,
pendidikan adalah seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi
terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan, dan
diberikan evaluasi berdasarkan pada tujuan yang telah ditentukan. Tujuan
utamanya adalah mengembangkan potensi intelektual untuk menguasai bidang ilmu
tertentu, sehingga mampu merakit sistem teknologi. Kegiatan belajarnya
dilaksanakan di dalam lembaga pendidikan sekolah. Dalam melaksanakan kegiatan
belajar itu, lembaga pendidikan sekolah membuat perencanaan materi pembelajaran
dalam bentuk kurikulum, yang didasarkan pada tujuan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, lembaga pendidikan sekolah mengkoordinasikan sumber daya manusia
dan semua fasilitas yang diperlukan.
Dalam arti sempit,
pendidikan mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1. Berlangsung dalam waktu yang terbatas, yaitu masa kanak-kanak, masa
remaja, dan masa dewasa. Atau, menurut jenjangnya: pra-sekolah dasar, sekolah
dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas, dan perguruan tinggi.
2. Berlangsung dalam ruang terbatas, yaitu di lembaga persekolahan sesuai
dengan jenjang-jenjangnya.
3. Berlangsung dalam suatu lingkungan khusus yang disengaja diciptakan
berdasarkan sistem administrasi dan manajemen tertentu dalam bentuk kelas,
dalam rangka efektivitas dan efisiensi kelangsungan proses pembelajaran.
4. Materi pendidikan disusun secara sistemik dan terprogram dalam bentuk
kurikulum.
5. Tujuan pendidikan ditentukan oleh lembaga pendidikan sekolah, yang
terbatas pada pengembangan kemampuan tertentu untuk membangun kecakapan dan
keterampilan hidup.
C. Arti Alternatif
Pendidikan
Dalam arti alternatif,
pendidikan adalah kegiatan belajar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat,
dan sekolah, di bawah otoritas pemerintah, dalam suatu sistem integral yang
disebut tripartit pendidikan. Pendidikan tripartit ini mempunyai fungsi dan
peranan untuk menjembatani pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan
masyarakat luas. Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk menampung aspirasi
pendidikan yang muncul dari setiap keluarga, sehingga dapat dikembangkan di
sekolah dan di masyarakat luas.
Karakteristik
pendidikan dalam arti alternatif adalah sebagai berikut.
1. Tujuan hakikinya adalah untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual,
kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional setiap individu.
2. Berlangsung di sepanjang masa menurut jenjang-jenjang tertentu secara
linier-kausalistik.
3. Berlangsung hanya di dalam lingkungan sosial budaya, tidak di sembarang
tempat.
4. Memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan potensi yang dimiliki setiap
individu peserta didik.
D. Paradigma Filsafat
Pendidikan
Paradigma filsafat
pendidikan mencakup pemikiran dialektis dari tingkat metafisik, tingkat
teoretis, sampai tingkat praktis. Tingkat metafisik disebut aspek ontologi.
Tingkat teoretis disebut epistemologi. Tingkat praktis disebut etika.
Aspek ontologi
pendidikan adalah sistem kegiatan pendidikan yang menekankan pada pembangunan
filsafat hidup yang dijiwai oleh nilai kejujuran. Filsafat hidup itu
dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kematangan spiritual, dalam bentuk
pemahaman yang komprehensif tentang asal mula, tujuan, dan eksistensi hidup.
Aspek epistemologi
pendidikan adalah sistem kegiatan pendidikan yang menekankan pembentukan sikap
ilmiah yang dijiwai nilai kebenaran. Sikap ilmiah itu dimaksudkan untuk
menumbuhkembangkan kematangan intelektual.
Sedangkan aspek etika
pendidikan adalah sistem kegiatan pendidikan yang menekankan pengembangan
perilaku bertanggung jawab yang dijiwai nilai keadilan. Perilaku bertanggung
jawab ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kematangan emosional, dalam
bentuk kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melampaui
batas.
BAB IV
Aspek Ontologi
Pendidikan (Pengembangan
Kecerdasan Spiritual)
Ontologi pendidikan
mempersoalkan tentang hakikat keberadaan pendidikan. Pendidikan itu selalu
berhubungan dengan eksistensi kehidupan manusia. Eksistensi manusia tidak bisa
dipisahkan dengan asal mula dan tujuan hidupnya. Karena itu, ontologi
pendidikan dipahami sebagai keberadaan pendidikan dalam hubungannya dengan asal
mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.
A. Pendidikan Manusia
Manusia memiliki
potensi cipta, rasa, dan karsa. Potensi ini perlu mendapatkan pendidikan yang
berkelanjutan. Sasaran utama dari sistem kegiatan pendidikan ini adalah
menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran terhadap eksistensi kehidupannya
sebagai manusia yang memiliki asal mula dan tujuan.
Dalam bagian ini, akan
dibahas tentang peranan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam melaksanakan
sistem kegiatan pendidikan.
Peranan keluarga. Kesadaran adanya nilai keindahan universal, secara ontologis, seharusnya
menjadi ciri khas filosofi hidup setiap keluarga. Orantua harus menumbuhkan dan
mengembangkan kesadaran nilai keindahan universal tersebut. Itu berarti,
orangtua harus terlebih dahulu menanamkan nilai keindahan universal itu pada
dirinya sendiri. Kesadaran adanya nilai keindahan universal itu memiliki
potensi kecerdasan spiritual yang landasan kehidupan keluarga yang tertib,
teratur, dan harmonis sesuai dengan kodrat asal mula dan tujuan kehidupan.
Kecerdasan spiritual itu dapat dibagun dan dikembangkan dengan menanamkan
spiritualitas moral syukur, sabar, dan ikhlas dalam setiap
kegiatan kehidupan keluarga. Spirit bersyukur dibangun dari kesadaran
adanya asal mula. Spirit bersyukur dapat menumbuhkan keyakinan adanya dunia
spiritual yang transenden, yang merupakan asal mula. Selanjutnya, keyakinan
akan asal mula ini akan menumbuhkan sifat rendah hati. Spirit sabar
dibangun dari kesadaran bahwa sepanjang kehidupan ini ada banyak persoalan yang
sulit dipecahkan. Spirit sabar ini dapat menumbuhkan nilai kejujuran,
sehingga dapat menghindarkan dari perbuatan memaksakan kehendak untuk segera
mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Spirit ikhlas dibangun dari
kesadaran bahwa, dikehendaki atau tidak, tahapan kehidupan ini pasti berakhir.
Spirit ikhlas ini menumbuhkan sikap bersedia menerima konsekuensi apa
pun atas segala usahanya.
Peranan sekolah. Seluruh sistem kegiatan pendidikan sekolah dimaksudkan untuk
mengembangkan potensi pikiran menjadi cerdas secara intelektual. Mengembangkan
pikiran menjadi cerdas secara intelektual, dilakukan dengan cara mengembangkan
pengetahuan membaca (reading), menulis (writing), dan berhitung (arithmetics).
Target setiap materi yang dipelajari adalah kemampuan kognitif, afektifl, dan
psikomotorik.
Peranan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud di sini adalah baik masyarakat formal maupun
informal. Dalam konteks pendidikan di masyarakat, komponen kecerdasan spiritual
berupa kesadaran asal mula, eksistensi, dan kesadaran tujuan, menjadi berubah
bentuknya. Asal mula seluruh kegiatan sosial adalah masyarakat. Eksistensi
kegiatan pendidikan adalah seluruh kegiatan yang dilakukan di dalam kehidupan
masyarakat. Tujuan seluruh kegiatan yang dilakukan adalah masyarakat.
Kecerdasan spiritual
yang ditanamkan di dalam setiap kegiatan sosisal menumbuhkan dan mengembangkan
kesadaran bahwa untuk mencapai tujuan kehidupan ini secara mutlak diperlukan
hidup bersama. Kesadaran ini dapat menumbuhkan nilai keadilan sosial.
B. Pendidikan dan
Filsafat
Dalam sudut pandang
filsafat, substansi ada itu hanya satu. Ada itu berada di dunia metafisik,
bersifat abstrak, absolut, dan tidak mengalami perubahan. Dalam dunia fisik,
ada ini eksistensinya bersifat plural, konkret, relatif, dan berubah-ubah. Di
antara pluralitas ada itu, ada manusia bisa menimbulkan persoalan
ketidakharmonisan hubungan antara ada yang satu dengan ada yang lainnya.
Hubungan tidak harmonis itu bisa terjadi antara eksistensi manusia dengan
dirinya sendiri, manusia dengan sesamanya (masyarakat), dan manusia dengan
lingkungannya.
Untuk mengatasi
persoalan tersebut, manusia harus mendidik dirinya sendiri dan mendidik
sesamanya. Tujuannya adalah supaya manusia memperoleh pengetahuan yang benar
tentang asal mula, eksistensi, dan tujuan dari segala sesuatu yang ada di dalam
dunia ini. Berdasarkan pengetahuan yang benar tentang asal mula dan tujuan
keberadaan segala sesuatu (secara khusus keberadaan hidup manusia itu sendiri),
manusia dapat membangun filsafat hidup yang benar sebagai pedoman cara
bereksistensinya/cara berperilakunya, sehingga kehidupannya secara pasti
bergerak ke arah titik tujuan akhir, bukan bergerak ke arah yang lain. Dengan
demikian manusia dapat menciptakan keharmonisan dan kedamaian dengan diri
sendiri, dengan sesama, dan dengan lingkungannya.
C. Pendidikan dan Sejarah
Sejarah adalah
rangkaian peristiwa yang sistematis yang bersumber dari kesadaran akan perlunya
perubahan-perubahan untuk mengembangkan dan memajukan kehidupan manusia.
Sejarah itu bersifat futuristik. Artinya, peristiwa-peristiwa dalam sejarah itu
secara dinamis-kausalistis bergerak menuju waktu yang akan datang. Demikian
juga dengan sejarah pendidikan. Pendidikan adalah peristiwa-peristiwa yang
sistematis yang bersumber dari kesadaran untuk mengubah dan mengembangkan
manusia menjadi manusia yang bernilai kemanusiaan. Dengan demikian manusia
dapat bereksistensi dalam sistem dialektis-kausalistis yang secara pasti menuju
kehidupan masa depan yang baru, yang lebih baik, yang lebih berbudaya, dan yang
berkeadilan.
D. Pendidikan dan Iptek
Ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah hasil dari pemberdayaan intelektual manusia melalui kegiatan
pendidikan yang sistematis. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan
pendidikan dapat digunakan untuk menrencanakan dan melakukan perubahan bagi
kemajuan dan perkembangan hidup manusia menuju kehidupan yang bernilai kultural
manusiawi.
E. Sebuah Paradigma
Ontologi Pendidikan
Ontologi pendidikan
tidak dapat dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia. Karena, ontologi pendidikan
itu secara mutlak berakar dari diri dan keberadaan manusia. Secara ontologis,
keberadaan manusia itu mempunyai tiga tingkatan, yaitu tingkat abstrak (abstract
essence), tingkat potensial (potential essence), dan tingkat
konkret (concrete essence). Karena itu, pendidikan juga dapat
dibahas menurut tingkatan-tingkatan tersebut.
Tingkat abstrak
pendidikan. Pada tingkat ini, pendidikan itu
bersifat universal. Artinya keberadaan pendidikan itu secara mutlak berlaku
bagi siapa saja, yang ada di mana saja, dan kapan saja.
Tingkat potensial
pendidikan. Pada tingkat ini, pendidikan itu
merupakan kekuatan yang dapat membuat manusia berada dalam kepribadiannya
sebagai manusia yang kreatif.
Tingkat konkret
pendidikan. Pada tingkat ini, pendidikan itu
merupakan kekuatan yang dapat membuat manusia secara individu menjadi cerdas
secara spiritual, cerdas secara intelektual, dan cerdas secara emosional.
BAB V
Aspek Epistemologi
Pendidikan (Pembentukan
Kecerdasan Intelektual)
A. Sasaran Epistemologi
Pendidikan
Pokok persoalan
epistemologi pendidikan adalah pengetahuan yang benar tentang kebenaran
pendidikan dan cara menyelenggarakan pendidikan yang benar. Sasaran
epistemologi pendidikan adalah pengembangan potensi intelektual untuk
menghasilkan keahlian dan keterampilan secara bertanggung jawab. Lingkup
pembahasan epistemologi pendidikan meliputi objek pendidikan, metode
pendidikan, sistem pendidikan, dan kebenaran pendidikan.
B. Objek Pendidikan
Secara epistemologi,
objek pendidikan terdiri dari objek materi dan objek forma. Objek materi
pendidikan adalah manusia siapa saja, dalam kondisi apa saja, yang ada di mana
saja dan kapan saja. Sedangkan objek formanya adalah manusia dari segi potensi
intelektualnya, yaitu seberapa jauh potensi intelektual itu dapat dibimbing
untuk dikembangkan menjadi keahlian dan keterampilan.
Berdasarkan objek
formanya, materi pendidikan harus disusun sesuai dengan sasaran
epistemologinya, yaitu pengembangan potensi intelektual untuk menghasilkan
keahlian dan keterampilan secara bertanggung jawab. Materi itu harus
diorganisasikan menjadi sebuah kurikulum dengan mempertimbangkan lingkungan
tempat pendidikan diselenggarakan. Dalam konteks Indonesia dimulai dari
mempertimbangkan lingkungan wilayah Daerah Tingkat Dua, lingkungan wilayah
Daerah Tingkat Satu, lingkungan nasional, dan lingkungan internasional.
C. Metode Pendidikan
Secara epistemologis,
metode pendidikan adalah cara yang tepat dan benar dalam mendidikan dan
mengajarkan isi materi pendidikan. Agar dapat menentukan cara yang tepat dan
benar, maka tujuan pendidikan harus dirumuskan secara tajam dan jelas. Telah
dijelaskan di atas bahwa tujuan epistemologi pendidikan adalah mengembangkan
potensi intelektual manusia untuk menghasilkan keahlian dan keterampilan secara
bertanggung jawab. Berdasarkan tujuan itu jelas bahwa di dalam diri manusia
sudah ada potensi. Karen itu metode yang tepat, sebagaimana diungkapkan oleh
Socrates, adalah metode pembidanan. Seperti seorang bidan menolong
kelahiran seorang anak, demikian juga pendidikan mempunyai peran untuk menolong
kelahiran potensi yang sudah ada di dalam diri peserta didik. Kemudian potensi
itu dikembangkan menjadi keahlian dan keterampilan yang bermanfaat untuk
kemajuan dan perkembangan hidupnya.
D. Sistem Pendidikan
Berdasarkn sifat objek
studinya, sistem pendidikan itu ada dua macam, yaitu sistem tertutup dan sistem
terbuka. Sistem pendidikan tertutup adalah penyelenggaraan kegiatan pendidikan
dalam bentuk pengajaran. Sistem pendidikan terbuka adalah penyelenggaraan
kegiatan pendidikan dalam bentuk pembimbingan dan pengasuhan.
Sistem pendidikan
tertutup tidak memberi kemungkinan bagi peserta didik untuk mengembangkan
dirinya secara kreatif. Kemungkinan yang diberikan hanyalah mengerti dan
menguasai materi pangajaran dengan menghafal. Dengan demikian, keahlian dan
keterampilan yang dihasilkan adalah keahlian dan keterampilan meniru. Berbeda
sekali dengan sistem pendidikan terbuka. Sistem pendidikan terbuka mermberikan
kemungkinan yang terbuka lebar bagi peserta didik untuk menumbuhkan dan
mengembangkan secara kreatif potensi yang ada di dalam dirinya menjadi keahlian
dan keterampilan, yang berguna untuk kemajuan dan perkembangan hidupnya.
E. Kebenaran Pendidikan
Yang dimaksud dengan
kebenaran pendidikan dari sudut pandang epistemologi adalah hasil dari kegiatan
pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan objek formanya dengan menggunakan
metode dan sistem pendidikan yang tepat dan benar. Hasil kegiatan pendidikan
itu adalah kecerdasan intelektual berupa kemampuan menciptakan berbagai
perubahan secara kreatif untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan
sehari-hari.
Secara keilmuan,
standar yang digunakan untuk mengukur kebenaran pendidikan adalah keterpaduan
antara bentuk dan materi pendidikan yang menghasilkan manusia terdidik, baik
secara indivudu maupun sosial (masyarakat). Standar umum untuk menilai individu
maupun masyarakat sebagai manusia terdidik adalah: (1) individu atau masyarakat
itu telah berhasil menyelesaikan jenjang-jenjang pendidikan formal (sekolah);
(2) potensi individu atau masyarakat itu bertumbuh dan berkembang menjadi
keahlian, kecakapan, dan keterampilan yang membentuk sikap dan perilaku ilmiah.
BAB VI
Aspek Etika Pendidikan (Pembentukan Kecerdasan Emosional)
A. Etika: Hakikat Nilai
Kebaikan
Cabang filsafat yang
mempelajari tentang hakikat nilai disebut aksiologi. Aksiologi itu
mempersoalkan tiga jenis nilai, yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran, dan
nilai kebaikan. Nilai keindahan dibicarakan dalam filsafat estetika. Nilai kebenaran
dibicarakan dalam filsafat epistemologi. Sedangkan, nilai kebaikan dibicarakan
dalam filsafat etika. Dalam bab ini akan dibicarakan tentang filsafat etika
pendidikan dengan sasaran utamanya nilai kebaikan dalam pendidikan.
Etika adalah sebuah
penyelidikan filosofis tentang hakikat moral. Moral di sini adalah persoalan
tentang apakah tingkah laku dalam hubungannya dengan diri sendiri dan dan
sesamanya itu mengandung nilai kebaikan. Hakikat kebaikan yang dipersoalkan
dalam etika pendidikan ini adalah nilai baik dipandang dari semua segi. Jadi
dipandang dari sisi mana pun, nilai kebaikan itu bersifati mutlak dan tidak
pernah mengalami perubahan.
Menurut sistematika
filsafat, nilai kebaikan, nilai kebenaran, dan nilai keidahan itu mempunyai
hubungan yang integral-kausalistik. Artinya, Nilai kebaikan akan menyebabkan
nilai kebenaran dan nilai keindahan. Nilai kebenaran akan menyebabkan nilai
kebaikan dan nilai keindahan. Nilai keindahan akan menyebabkan nilai kebaikan
dan nilai kebenaran.
B. Sasaran Etika
Pendidikan
Etika pendidikan
adalah bagian integral dari filsafat pendidikan, yang tidak dapat dipisahkan
dengan ontologi pendidikan dan epistemologi pendidikan. Pemahaman yang benar
terhadap ontologi pendidikan dapat menghasilkan kecerdasan spiritual. Pemahaman
yang benar terhadap epistemologi pendidikan dapat menghasilkan kecerdasan
intelektual. Pemahaman yang benar terhadap etika pendidikan dapat menghasilkan
kecerdasan emosional. Ketiga kecerdasan itu saling berhubungan. Kecerdasan
spiritual menjadi dasar untuk pengembangan kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosional.
Sasaran utama etika
pendidikan adalah pengembangan potensi kecerdasan emosional yang dibangun di
atas dasar kecerdasan spiritual dan intelektual untuk menghasilkan perilaku
yang dijiwai oleh nilai kebaikan, yaitu dalam bentuk kemampuan mengendalikan
diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melampaui batas.
BAB VII
Sistem Pendidikan
Terpadu
Dalam bab ini
ditawarkan sebuah sistem pendidikan alternatif yaitu sistem pendidikan
terpadu, yang diharapkan dapat mendorong dinamika pendidikan nasional yang
mengarah kepada pembentukan kehidupan suatu bangsa yang berkepribadian, otonom,
kreatif, dan produktif. Dalam sistem pendidikan terpadu ini, posisi pendidikan
keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat ditata dalam posisi
saling berhubungan secara fungsional-kausalistik. Secara ringkas sistem ini
dapat digambarkan sebagai berikut.
Pendidikan keluarga
diposisikan sebagai tempat pembentukan kecerdasan spiritual. Alasannya adalah
bahwa di dalam keluarga itu ada budaya penanaman nilai-nilai kepercayaan
spiritual yang terpelihara secara alamiah. Pendidikan sekolah diposisikan
sebagai tempat untuk memproses potensi-potensi budaya yang bersumber dari
keluarga menjadi sebuah kecerdasan intelektual yang penuh dengan kreativitas.
Selanjutnya, pendidikan masyarakat diposisikan sebagai tempat penanaman benih
kecerdasan intelektual dalam berbagai wujud keahlian, kecakapan, dan
keterampilan hidup. Dengan demikian, masyarakat itu pada saatnya akan
memproduksi segala macam kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan fisik sampai
kebutuhan spiritual.
Dalam sistem
pendidikan terpadu, pendidikan sekolah menduduki posisi sentral dan berfungsi
sebagai agen pembaruan terhadap pembudayaan pendidikan keluarga dan pendidikan
masyarakat. Posisi pendidikan sekolah itu ada di tengah antara pendidikan
keluarga dan pendidikan masyarakat, yang berfungsi sebagai kelanjutan
pendidikan keluarga dan sebagai pintu gerbang memasuki pendidikan masyarakat.
Pendidikan keluarga
-------> Pendidikan Sekolah --------> Pendidikan Masyarakat
A. Karakteristik
Pendidikan Keluarga
Ciri khas atau
karakteristik pendidikan keluarga terefleksi melalui tanggung jawab orangtua
terhadap anak. Orangtua membimbing dan merawat anak untuk membentuk karakter
dan kepribadian anak agar menjadi dirinya sendiri atau menjadi pribadi yang
utuh. Kehidupan keluarga menjadi tempat yang paling baik untuk pembudayaan
kepribadian bagi setiap individu. Keluarga menjadi tempat pertama bagi anak
untuk mendapatkan pendidikan.
B. Lembaga Pendidikan
Sekolah
Lembaga pendidikan
sekolah adalah organisasi sosial yang objeknya adalah kegiatan belajar.
Kegiatan belajarnya diatur secara terjadwal, sistematis, dan berjenjang menurut
peraturan yang ditetapkan. Lembaga pendidikan sekolah ini mempunyai kedudukan
sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan lanjutan dari pendidikan keluarga.
Selain itu, lembaga lembaga pendidikan sekolah berfungsi sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia, yang mampu
membangun kehidupan dalam rumah tangganya kelak dan dengan segala kompetensinya
mampu menjadi inovator dan dinamisator sosial. Lembaga pendidikan sekolah
dikelola berdasarkan sistem formal-institusional dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip
administrasi manajemen.
Karakteristik khusus
lembaga pendidikan sekolah adalah sebagai berikut.
1. Menyelenggarakan pembelajaran khusus menurut struktur hierarki kelas.
2. Berisi sejumlah peserta didik yang usinya relatif homogen untuk memudahkan
jalannya proses belajar mengajar.
3. Waktu pembelajarannya relatif lama sesuai dengan program pendidikan yang
telah direncanakan.
4. Isi materinya cenderung menekankan pada sifat akademis.
5. Sasaran kualitas pendidikannya mencakup aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
C. Lembaga Pendidikan
Masyarakat
Masyarakat adalah
bentuk kehidupan sosial yang merupakan perluasan dari kehidupan keluarga.
Masyarakat mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai wadah dan sarana pendidikan.
Masyarakat dapat dipahami sebagai lingkungan pendidikan lapisan ketiga setelah
pendidikan sekolah. Untuk memasuki lingkungan pendidikan lapisan ketiga ini
diperlukan tingkat keahlian, kecakapan, dan keterampilan tertentu. Realitasnya,
produk pendidikan sekolah tidak sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan tersebut.
Karena itu, perlu adanya perluasan pendidikan alternatif yang disebut pendidikan
masyarakat, agar dapat memenuhi keahlian, kecakapan, dan keterampilan yang
menjadi tuntutan lingkungan pendidikan lapisan ketiga (masyarakat).
Bentuk penyelenggaraan
pendidikan masyarakat bisa bervariasi sesuai dengan tujuan atau sasaran yang
ingin dicapai. Pada dasarnya, penyelenggaraan pendidikan masyarakat dapat
dikatergorikan menjadi tiga jenis.
1. Bagi mereka yang tidak mampu sekolah karena segala macam sebab.
2. Bagi mereka yang putus sekolah karena segala macam sebab.
3. Bagi mereka yang sedang aktif mengikuti kegiatan pendidikan sekolah.
Keikutsertaannya bisa dengan segala macam alasan atau sebab.
Berdasarkan sifatnya,
sistem lembaga pendidikan masyarakat mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1. Tidak mengenal jenjang (kelas/strata), tetapi diproses menurut paket.
2. Peserta didiknya bersifat heterogen.
3. Kegiatan belajarnya dilakukan secara terjadwal dengan metode formal, dan
ada evaluasi untuk menentukan kualitas standar.
4. Isi materi pembelajarannya ditekankan pada keterampilan kerja untuk
kepentingan peningkatan taraf hidup.
Berdasarkan target
sasarannya, pendidikan masyarakat diperuntukkan bagi kalangan luas dan
bervariasi.
D. Sistem Pendidikan Terpadu
Sistem pendidikan
terpadu adalah sistem pendidikan yang berkesinambungan dengan orientasi
kelestarian hidup. Sistem pendidikan terpadu terdiri dari lembaga pendidikan
keluarga, lembaga pendidikan sekolah, dan lembaga pendidikan masyarakat.
Gambaran tentang sistem pendidikan terpadu ini telah dijelaskan di bagian awal
bab ini.
E. Keluarga: Sumber Pencerdasan Spiritual
Keluarga adalah tempat
yang paling baik untuk menumbuhkembangkan kecerdasan spiritual berupa kesadaran
terhadap asal mula dan tujuan hidup. Kesadaran terhadap asal mula dan tujuan
hidup ini dapat digunakan untuk membangun filosodi hidup yang mengarahkan
kepada tujuan akhir kehidupan. Kesadaran terhadap asal mula dan tujuan hidup
ini dapat ditanamkan dan diperjelas melalui nilai-nilai moral dalam
adat-istiadat, peradaban, kebudayaan, dan ajaran agama yang diperlihara dalam
keluarga.
F. Sekolah: Sumber
Pencerdasan Intelektual
Pendidikan sekolah
menduduki posisi sentral di antara pendidikan keluarga dan pendidikan
masyarakat. Dalam posisi ini, pendidikan sekolah berfungsi sebagai penyebar
nilai-nilai kebudayaan atau moral-spiritual kemanusiaan yang bersumber dari
kehidupan keluarga. Karena itu, pendidikan sekolah harus menjadi tempat untuk
mengolah nilai-nilai kebudayaan atau moral-spiritual kemanusiaan tersebut
menjadi kecerdasan intelektual yang mengandung nilai kebenaran yang bersifat
rasional dan empirikal.
G. Masyarakat: Sumber Pencerdasan Emosional
Semua sumber daya
manusia yang dihasilkan pendidikan sekolah merupakan masukan bagi masyarakat.
Masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya manusia tersebut sesuai dengan
tingkat keahlian, kecakapan, dan keterampilan yang dibutuhkan. Pelaksanaan
pemanfaatan sumber daya manusia dalam masyarakat dengan sikap dan perilaku yang
objektif, kreatif, dan produktif dapat menjadi sumber pencerdasan emosional
yang baik.
BAB VIII
Evaluasi dan
Kesimpulan (Prototipe Masyarakat
Terdidik)
Pendidikan mempunyai
andil yang besar dalam krisis kehidupan yang terjadi dalam masyarakat modern
ini. Karena itu, perlu adanya reformasi sistem pendidikan ke arah sistem
pendidikan terpadu, sehingga dapat menghasilkan masyarakat yang terdidik.
A. Pilar Bangunan Masyarakat Terdidik
Pilar masyarakat
terdidik adalah filsafat hidup yang transenden, sikap dan perilaku hidup
spiritual yang sesuai dengan hakikat asal mula, eksistensi, dan tujuan hidup.
Filsafat hidup ini bersifat universal, absolut, tidak mengalami perubahan, dan
tidak dapat digantikan dengan filsafat hidup sekuler. Dengan pilar ini,
masyarakat didorong untuk menghasilkan kehidupan yang cerdas secara spiritual,
cerdas secara intelektual, dan cerdas secara emosional.
B. Model Bangunan Masyarakat Terdidik
Model bangunan
masyarakat terdidik adalah model bangunan masyarakat yang didasarkan pada
kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional. Model
bangunan masyarakat yang demikian dapat dibangun dengan melakukan pendidikan
yang didasarkan pada hakikat asal mula, eksistensi, dan tujuan hidup, sehingga
menghasilkan kecerdasan yang terpadu antara potensi spiritual, intelektual, dan
emosional. Dengan demikian akan terbangun model masyarakat terdidik bercirikan
tiga moralitas yang saling berhubungan secara kausalistik. Ketiga moralitas itu
adalah moral bersyukur, moral bersabar, dan moral berikhlas.
C. Masyarakat Terdidik, Masyarakat Maju
Masyarakat yang
terdidik dan maju adalah masyarakat yang sikap dan perilakunya berkembang
sesuai dengan tingkat pengetahuan rasional dan empirik, serta tingkat keyakinan
keagamaannya, yang dijiwai oleh moralitas bersyukur, bersabar, dan berikhlas.
Dengan demikian, kehidupan masyarakat digerakkan kepada satu arah, yaitu tujuan
akhir kehidupan.
0 comments:
Posting Komentar